Langsung ke konten utama

Facial Dermatitis pada Kucing Persian dan Himalayan

 

Facial Dermatitis  kucing Persia. Kotoran yang melekat dan berwarna gelap seperti lilin menutupi bulu wajah. Peradangan relatif sedang, meskipun terdapat banyak kotoran (Gross et al., 2005)

Facial Dermatitis pada kucing Persia dan Himalaya adalah kondisi langka, kompleks, dan progresif yang menyerang area wajah. Kondisi ini ditandai dengan material hitam pada kulit dan bulu, eritema, serta ekskoriasi, dan sering kali disertai gejala lain seperti otitis eksterna dan infeksi sekunder. Penyebab pastinya belum diketahui, namun faktor genetik diduga berperan. Facial dermatitis ini biasanya ditemukan pada kucing Persia muda berusia antara 10 bulan hingga 6 tahun, dengan usia rata-rata berkisar 2,5 tahun, dan lebih sering terjadi pada kucing jantan dibandingkan betina (Gross et al., 2005).

 

Facial Dermatitis  pada kucing Persia. Debris yang melekat lebih sedikit dibandingkan dengan kucing pada gambar sebelumnya. Terdapat ekskoriasi traumatik dan alopesia, yang mengindikasikan pruritus (Gross et al., 2005)

Gejala Klinis

Dermatitis facialis pada kucing Persia merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan eksudat hitam seperti lilin di area wajah, terutama di dagu, disertai kerak dan eritema ringan. Pada beberapa kasus, kondisi ini berkembang menjadi otitis eksterna berserabut serta infeksi sekunder yang melibatkan bakteri dan jamur Malassezia (Fontaine & Heimann, 2004; Bond et al., 2000). Temuan histopatologis menunjukkan adanya akantosis, pengerasan kulit, dan hiperplasia kelenjar sebasea (Bond et al., 2000). Penyakit ini sering kali dimulai dengan akumulasi kotoran berminyak yang berwarna gelap dan lengket di area moncong, periorbital, serta dagu.

Seiring perkembangan penyakit, perubahan klinis seperti eritema, eksudasi, dan lesi kronis mulai muncul, terutama di lipatan wajah, namun tidak jarang juga di area tanpa lipatan. Pada beberapa kucing yang terinfeksi, gejala dapat meluas hingga melibatkan otitis eksterna ceruminous bilateral dan pembesaran kelenjar getah bening submandibular, menandakan adanya komplikasi sistemik. Hal ini menegaskan bahwa dermatitis facialis tidak hanya bersifat lokal tetapi juga berpotensi memengaruhi kesehatan secara keseluruhan (Gross et al., 2005).

 

Faktor Genetik dan Imunologi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kucing Persia memiliki faktor genetik tertentu pada kromosom F1 yang dapat menyebabkan penyakit kulit serius seperti infeksi jamur (dermatofitosis). Faktor genetik ini melibatkan gen S100A9, yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan kemungkinan besar berkontribusi pada masalah kulit tersebut (Myers et al., 2022). Selain itu, penyakit kulit pada wajah kucing Persia sering kali diperburuk oleh masalah lain seperti infeksi bakteri (pyoderma) atau infeksi jamur Malassezia. Kondisi ini biasanya mulai dengan gatal ringan, tetapi bisa menjadi lebih parah jika tidak diobati. Secara umum, penyakit ini memiliki ciri khas yang memudahkan diagnosis, meskipun kadang-kadang bisa terlihat mirip dengan masalah kulit lain seperti jerawat parah atau gangguan kelenjar minyak.

Kondisi lain yang juga dapat menyerang kucing Persia adalah lupus eritematosus sistemik (SLE), yaitu penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan simetris pada wajah. Penyakit ini dapat diobati dengan obat kortikosteroid, yang sering kali memberikan hasil yang baik (Vitale et al., 1997). Kesamaan gejala antara lupus dan masalah kulit pada kucing Persia menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh mungkin berperan besar dalam perkembangan penyakit kulit ini. Hal ini menyoroti pentingnya pemahaman lebih lanjut tentang peran kekebalan tubuh dan genetik dalam kesehatan kulit kucing Persia.

 

Diagnosis

Diagnosis facial dermatitis ini membutuhkan evaluasi klinis dan histopatologis yang komprehensif karena karakteristik histologisnya tidak sepenuhnya spesifik. Facial Dermatitis pada kucing Persia memiliki beberapa ciri khas yang terlihat melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan kulit (histopatologi). Pada lapisan kulit luar (epidermis) dan saluran folikel rambut, sering ditemukan penebalan (akantosis), pembengkakan antar sel (spongiosis), dan adanya neutrofil serta eosinofil, yaitu jenis sel imun yang masuk ke jaringan. Beberapa kasus juga menunjukkan pustula kecil, yaitu kantong kecil berisi nanah. Peradangan pada saluran folikel rambut (folikulitis luminal) dan kerak parakeratotik dengan cairan serum serta kolonisasi bakteri adalah temuan yang umum.

Sel-sel kulit di epidermis kadang-kadang mengalami degenerasi atau kerusakan seperti apoptosis, meskipun jumlahnya biasanya sedikit. Selain itu, perubahan berupa pembengkakan pada sel-sel basal kulit juga sering terlihat. Pada lapisan kulit di bawah epidermis (dermis superfisial dan tengah), ditemukan infiltrasi sedang oleh berbagai jenis sel imun, seperti neutrofil, makrofag, eosinofil, limfosit, dan sel plasma. Sel pigmen (melanofag) juga sering terlihat. Kelenjar minyak (sebaceous) biasanya tampak besar, tetapi hal ini juga umum pada kulit wajah kucing yang normal.

Jamur Malassezia sering ditemukan dalam sampel kulit, baik melalui pemeriksaan sitologi maupun jaringan pada beberapa kasus. Karena karakteristiknya yang tidak sepenuhnya spesifik, diagnosis memerlukan kombinasi pemeriksaan klinis dan histopatologis yang cermat. Kondisi ini bisa terlihat mirip dengan reaksi alergi atau jenis dermatitis lain seperti dermatitis eksfoliatif yang terkait dengan thymoma, tetapi ada perbedaan dalam ciri utama, seperti kehadiran spongiosis dan apoptosis. Pengelolaan penyakit ini memerlukan pengenalan dini serta pencegahan komplikasi lebih lanjut, seperti infeksi sekunder.

 

Pendekatan Pengobatan

Siklosporin telah digunakan dengan sukses untuk mengobati lesi kulit pada kucing Persia, di mana beberapa kasus menunjukkan pemulihan penuh dalam waktu 4-6 minggu. Namun, ada kemungkinan kucing menjadi kurang responsif terhadap pengobatan ini seiring waktu, dan infeksi tambahan dapat muncul sebagai komplikasi. Glukokortikoid, yang juga sering digunakan, memberikan hasil yang tidak konsisten dan cenderung kurang efektif. Hingga saat ini, belum ada protokol pengobatan yang pasti untuk kondisi ini (Fontaine & Heimann, 2004; Bond et al., 2000).

 

Daftar Pustaka

1.      Fontaine, J., & Heimann, M. (2004). P‐70 Idiopathic facial dermatitis of the Persian cat: three cases controlled with cyclosporine. Veterinary Dermatology15, 64-64.

2.      Bond, Curtis, Ferguson, & Rest. (2000). An idiopathic facial dermatitis of Persian cats. Veterinary Dermatology11(1), 35-41.

3.      Myers, A. N., Lawhon, S. D., Diesel, A. B., Bradley, C. W., Rodrigues Hoffmann, A., Murphy, W. J., & 99 Lives Cat Genome Consortium. (2022). An ancient haplotype containing antimicrobial peptide gene variants is associated with severe fungal skin disease in Persian cats. PLoS Genetics18(2), e1010062.

4.      Vitale, C., Ihrke, P., Gross, T. L., & Werner, L. (1997). Systemic lupus erythematosus in a cat: fulfillment of the American Rheumatism Association criteria with supportive skin histopathology. Veterinary dermatology8(2), 133-138.

5.      Gross, T.L., Ihrke, P.J., Walder, E.J., Affolter, V.K., 2005, Skin Diseases of the Dog and Cat: Clinical and Histopathologic Diagnosis, Second Edition, Oxford: Blackwell Science Ltd

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar di...

Kasus Displasia Abomasum pada Sapi

Displasia Abomasum (DA) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum dari lokasi yang sebenarnya.  Umumnya kasus DA banyak terjadi pada sapi perah ( Friesian Holstein ) yang memiliki produksi susu yang tinggi. Kasus ini biasanya terjadi pada akhir masa kebuntingan berkisar 2 minggu sebelum kelahiran (2 minggu prepartus ) dan pada awal masa laktasi yaitu sekitar 8 minggu setelah kelahiran (8 minggu post partus). Selain sapi, kasus DA juga dapat terjadi pada jenis ruminansia lainya, walaupun kasus pada rumininasia lainnya jarang terjadi.

Stud tail ( Feline Tail Gland Hyperplasia)

Pernah punya kucing yang ekornya selalu kotor berwarna hitam , kadang berkerak, bahkan sampai bisa menyebabkan kebotakan? Klo teman-teman punya kasus serupa ini biasa disebut Stud tail   atau istilah kerenya Feline Tail Gland Hyperplasia. Pengertian Kasus Stud Tail merupakan suatu kondisi ketika ekor kucing jantan memiliki kelenjar Apokrin ( keringat )   dan kelenjar Sebaceus ( minyak) yang aktif pada bagian atas ekor. Kelenjar ini menghasilkan hipersekresi lilin yang membuat lesi kucing menjadi berkerak dan membuat kerontokan pada rambut (bulu). Jika kondisi ini sudah parah, maka bisa membuat ekor kucing menjadi rentan terhadap infeksi bakteri dan menyebabkan bau tak sedap. Kasus ini umumnya terjadi pada kucing jantan walaupun demikian tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada kucing betina. Selain di bagian ekor kondisi ini juga bisa terjadi dibagian bawah dagu kucing. Penyebab Pada kasus ini ternjadi hiperplasia pada kelenjar sebaceus dan apokrin sehingga terjadi...