Langsung ke konten utama

Mengukur Suhu Tubuh Kucing dan Anjing: Mana Metode yang Paling Tepat?

Suhu tubuh adalah salah satu indikator kesehatan utama pada kucing dan anjing. Dalam dunia kedokteran hewan, pengukuran suhu rektal (RT) telah lama dianggap sebagai metode standar emas karena akurasi yang tinggi. Namun, prosedur ini sering kali tidak nyaman bagi hewan, menyebabkan stres selama pemeriksaan. Untuk itu, para peneliti terus mencari alternatif yang lebih ramah hewan tetapi tetap akurat, seperti suhu aksila (AT), suhu membran timpani (TMT), dan termometer inframerah non-kontak (NCIT).


Pengukuran Suhu Rektal: Standar yang Tidak Nyaman

Pengukuran suhu rektal adalah pilihan utama karena memberikan hasil yang andal. Namun, penelitian menunjukkan bahwa hanya sekitar 53% kucing dapat mentoleransi metode ini tanpa menunjukkan tanda-tanda stres. Meski akurat, ketidaknyamanan yang dirasakan oleh hewan membuat RT kurang ideal dalam situasi tertentu, terutama untuk pemeriksaan rutin atau pada hewan yang sangat sensitif (Smith et al., 2015). 


Suhu Aksila: Alternatif yang Lebih Nyaman

Pengukuran suhu aksila dilakukan dengan meletakkan termometer di bawah ketiak kucing atau anjing. Metode ini memiliki tingkat toleransi tertinggi, dengan 90,6% kucing dapat menerima prosedur tanpa stres. Dari segi akurasi, AT menunjukkan hasil yang cukup baik dengan 78% pengukuran berada dalam rentang ±0,5°C dari suhu rektal. Hal ini menjadikan AT alternatif terbaik jika RT tidak memungkinkan, terutama untuk hewan dengan kondisi tubuh normal atau kurus (Smith et al., 2015). 

 

Suhu Membran Timpani: Cepat, tetapi Kurang Akurat

Penggunaan termometer inframerah pada membran timpani menunjukkan tingkat kenyamanan lebih baik dibandingkan RT, dengan toleransi mencapai 81,2%. Namun, akurasinya jauh lebih rendah. Penelitian mencatat perbedaan suhu antara TMT dan RT berkisar antara −1,6°C hingga 3°C, dengan hanya 51,3% hasil berada dalam rentang ±0,5°C dari RT. Selain itu, perbedaan ini semakin signifikan pada suhu tubuh yang lebih tinggi, membuat TMT kurang dapat diandalkan untuk pengukuran suhu yang presisi (Smith et al., 2015). 


NCIT: Masa Depan Pengukuran Suhu Non-Invasif?

Termometer inframerah non-kontak (NCIT) menjadi sorotan karena prosedur yang sepenuhnya non-invasif, memberikan kenyamanan maksimal bagi hewan. Namun, studi menunjukkan bahwa NCIT menghasilkan suhu yang secara konsisten lebih rendah dibandingkan RT. Pada anjing, suhu median dengan RT adalah 38,4°C, sementara NCIT hanya mencatat 36,3°C. Pada kucing, suhu median dengan RT adalah 38,3°C, tetapi NCIT hanya mencapai 35,7°C. Korelasi antara NCIT dan RT lemah pada anjing dan bahkan tidak ada pada kucing, dengan bias rata-rata sebesar −2,2°C untuk anjing dan −2,7°C untuk kucing. Dengan hasil ini, NCIT saat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan klinis (Barton et al., 2022).

 

Faktor yang Mempengaruhi Akurasi

Penelitian juga menemukan beberapa faktor yang memengaruhi akurasi pengukuran, termasuk:

  1. Kondisi tubuh hewan: Kucing obesitas cenderung menunjukkan perbedaan yang lebih besar pada pengukuran AT dibandingkan dengan kucing kurus.
  2. Lokasi pengukuran: Aksila kanan sering menunjukkan perbedaan suhu yang lebih besar dibandingkan aksila kiri.
  3. Tingkat suhu tubuh: Pada suhu tubuh tinggi, perbedaan antara hasil TMT dan RT menjadi lebih signifikan.

 

Rekomendasi Klinis

Pengukuran suhu tubuh pada hewan sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan klinis dan kondisi pasien. Meskipun RT tetap menjadi metode paling akurat, AT menawarkan keseimbangan antara akurasi dan kenyamanan, menjadikannya pilihan yang lebih praktis untuk pengukuran rutin. TMT dan NCIT, meskipun nyaman, belum cukup akurat untuk menggantikan RT dalam praktik klinis saat ini. Namun, pengembangan lebih lanjut teknologi NCIT dapat membuka peluang untuk alat pengukuran suhu tubuh yang lebih efisien dan ramah hewan di masa depan.

 

Kesimpulan

Memilih metode pengukuran suhu tubuh yang tepat sangat penting untuk kesejahteraan hewan dan keakuratan diagnosis. Studi-studi ini memberikan panduan bagi dokter hewan untuk mempertimbangkan keseimbangan antara kenyamanan hewan dan kebutuhan klinis, memastikan bahwa kesehatan hewan dapat dipantau dengan cara yang paling optimal.

 

Daftar Pustaka

Barton, J. C., Didier, M. D., Silvestrini, P., German, A. J., & Ferriani, R. (2022). A noninvasive method of temperature measurement using a noncontact handheld infrared thermometer fails to correlate with rectal temperature in dogs and cats. Journal of the American Veterinary Medical Association260(7), 752-757.

Smith, V. A., Lamb, V., & McBrearty, A. R. (2015). Comparison of axillary, tympanic membrane and rectal temperature measurement in cats. Journal of Feline Medicine and Surgery17(12), 1028-1034.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar di...

Kasus Displasia Abomasum pada Sapi

Displasia Abomasum (DA) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum dari lokasi yang sebenarnya.  Umumnya kasus DA banyak terjadi pada sapi perah ( Friesian Holstein ) yang memiliki produksi susu yang tinggi. Kasus ini biasanya terjadi pada akhir masa kebuntingan berkisar 2 minggu sebelum kelahiran (2 minggu prepartus ) dan pada awal masa laktasi yaitu sekitar 8 minggu setelah kelahiran (8 minggu post partus). Selain sapi, kasus DA juga dapat terjadi pada jenis ruminansia lainya, walaupun kasus pada rumininasia lainnya jarang terjadi.

Stud tail ( Feline Tail Gland Hyperplasia)

Pernah punya kucing yang ekornya selalu kotor berwarna hitam , kadang berkerak, bahkan sampai bisa menyebabkan kebotakan? Klo teman-teman punya kasus serupa ini biasa disebut Stud tail   atau istilah kerenya Feline Tail Gland Hyperplasia. Pengertian Kasus Stud Tail merupakan suatu kondisi ketika ekor kucing jantan memiliki kelenjar Apokrin ( keringat )   dan kelenjar Sebaceus ( minyak) yang aktif pada bagian atas ekor. Kelenjar ini menghasilkan hipersekresi lilin yang membuat lesi kucing menjadi berkerak dan membuat kerontokan pada rambut (bulu). Jika kondisi ini sudah parah, maka bisa membuat ekor kucing menjadi rentan terhadap infeksi bakteri dan menyebabkan bau tak sedap. Kasus ini umumnya terjadi pada kucing jantan walaupun demikian tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada kucing betina. Selain di bagian ekor kondisi ini juga bisa terjadi dibagian bawah dagu kucing. Penyebab Pada kasus ini ternjadi hiperplasia pada kelenjar sebaceus dan apokrin sehingga terjadi...