Penyakit kulit pada hewan, terutama anjing dan kucing, sering ditemukan, dengan salah satu yang paling umum adalah atopik dermatitis. Atopik dermatitis adalah kondisi hipersensitivitas kulit yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti genetik, gangguan sistem imun, faktor lingkungan, dan agen infeksi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anjing dibandingkan dengan kucing (Gross et al., 2005). Hillier dan Griffin (2001) menyebutkan bahwa prevalensi atopik dermatitis pada anjing bisa mencapai 3-30%. Diagnosis atopik dermatitis pada anjing tidak mudah dilakukan karena gejalanya sangat bervariasi, mirip dengan kondisi dermatitis lainnya. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam tentang etiology, patogenesis, gejala klinis, dan pengelolaan penyakit ini sangat penting, baik untuk kesehatan hewan maupun kenyamanan pemilik hewan.
Materi dan Metode
Tulisan ini disusun
berdasarkan studi literatur yang mencakup laporan penyakit, buku, jurnal, dan
artikel ilmiah yang relevan dengan topik atopik dermatitis pada anjing.
Pembahasan
Etiologi dan Patogenesis
Canine Atopic Dermatitis
(CAD) adalah gangguan kulit yang terjadi akibat alergi terhadap berbagai
alergen, yang bisa berupa sekresi kutu, jamur, serbuk sari, makanan, atau
alergen lainnya. Alergen umumnya adalah protein, namun beberapa sumber juga
menyebutkan bahwa karbohidrat bisa menjadi pemicu (Heinrich et al., 2019).
Alergen masuk ke tubuh melalui inhalasi, konsumsi makanan, atau penetrasi
langsung ke kulit. Pada CAD, terjadi peningkatan kadar Immunoglobulin E (IgE)
dalam serum, yang berperan dalam proses alergi. Sel T helper (Th) memainkan
peran penting dalam respon imun terhadap alergen, yang melibatkan
sitokin-sitokin seperti IL-4, IL-5, IL-13, dan IL-31 (Nutall et al., 2019). Sel
Langerhans dan sel epidermal dendritik inflamasi memiliki afinitas tinggi
terhadap IgE dan berkontribusi dalam memicu peradangan kulit serta disfungsi
barier kulit. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anjing berusia 1-3
tahun, meskipun bisa terjadi pada semua kelompok umur. Sekitar 7-25% kasus CAD
disebabkan oleh alergi makanan, yang mencakup alergen seperti daging sapi,
ayam, produk susu, jagung, dan gandum.
Gambar 1. (A). Kasus atopic dermatitis dengan excoriation, alopecia,
hyperpigmentation dan seborrhoea pada anjing German Shepherd. (B). Atopic
conjunctivitis pada Border Terrier. (C). Epiphora pada anjing dengan
conjunctivitis.
(D). Severe
conjunctivitis menyebabkan excoriation
dan periocular pyoderma di bagian wajah anjing Labrador (Heinrich et al.,
2019).
Gejala Klinis
Gejala klinis CAD sangat
bervariasi, tergantung pada faktor genetik, luas lesi, tahap penyakit (akut
atau kronis), serta adanya infeksi sekunder. Pruritus dan eritema adalah gejala
utama, yang bisa berkembang menjadi lesi primer seperti alopecia, likenifikasi,
dan hiperpigmentasi. Infeksi sekunder oleh bakteri Staphylococcus sp. dan jamur
Malassezia sp. sering memperburuk gejala. Eritema sering terlokalisasi pada
area telinga, kulit periokular, moncong, leher, perut, dan kaki. Pada kasus
kronis, infeksi telinga oleh bakteri atau jamur dapat menyebabkan otitis dan
hiperplasia telinga. Selain itu, peradangan pada kulit interdigital dan
perianal juga dapat terjadi. Gambaran histopatologis pada CAD menunjukkan
inflamasi perivaskular kronik, infiltrasi sel-sel inflamasi, dan keratinisasi
folikel rambut (Purnama et al., 2019).
Deferensial Diagnosa
Atopik dermatitis harus
dibedakan dengan beberapa kondisi dermatitis lainnya, seperti dermatitis akibat
parasit (kutuan, tungau), dermatofitosis, epitheliotrophic lymphoma, pemphigus
foliaceus, dan demodicosis.
Diagnosis
Diagnosis CAD dilakukan
dengan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan respon terhadap terapi. Pemeriksaan
lanjutan meliputi hair plucks, tape strips, dan skin scrapings untuk mendeteksi
infeksi parasit. Jika infeksi sekunder dicurigai, pemeriksaan sitologi dapat
dilakukan. Jika alergi makanan dicurigai, tes diet eliminasi dengan makanan
rumahan atau komersial dapat dilakukan. Uji coba diet dapat dilakukan selama
8-10 minggu untuk mengidentifikasi alergen makanan yang memicu dermatitis
(Heinrich et al., 2019).
Pengobatan
Pengobatan CAD bertujuan
untuk mengurangi gejala, karena penyakit ini sulit disembuhkan. Pengobatan
topikal dapat menggunakan steroid, yang dapat dipadukan dengan antibiotik atau
antifungal jika ada infeksi sekunder. Tacrolimus 0,1% adalah obat topikal yang
efektif untuk mengatasi CAD dengan efek samping yang minim. Grooming dengan
sampo khusus seperti yang mengandung Chlorhexidine juga digunakan untuk
mengatasi infeksi mikroba, meskipun bisa menyebabkan kulit kering. Pengobatan
sistemik melibatkan penggunaan antibiotik untuk infeksi sekunder, seperti
cefalexin dan cefpodoxime, serta antifungal untuk infeksi Malassezia (Heinrich
et al., 2019). Pengobatan antiinflamasi yang efektif termasuk penggunaan
steroid atau oclacitinib yang dapat menargetkan jalur inflamasi dan limfosit.
Kesimpulan
Atopik dermatitis pada
anjing adalah penyakit kulit yang kompleks, dengan gejala yang sangat
bervariasi dan penyebab yang multifaktorial. Diagnosis yang tepat dan
pengelolaan yang efektif sangat penting untuk mengurangi dampak penyakit ini
terhadap kesehatan hewan dan kenyamanan pemiliknya. Penelitian lebih lanjut dan
pengembangan terapi yang lebih efektif sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
kualitas hidup anjing yang menderita CAD.
Daftar Pustaka
Ferreira. T.C., De Carvalho, V.M., Cunha, M.G.M.C.M.,
dan Pinheiro, D.C.S.N.,
2022, “Canine
atopic dermatitis: report of ten cases”, Research Society
and Development, 11(4), hal. 1-10.
Gedon, N.K.Y., dan Mueller, R.S., 2018, “Atopic
dermatitis in cats and dogs: a difficult disease for animals and owners”, Clin Transl
Allergy,
8(41), hal .1-14.
Gross, T.L., Ihrke, P.J., Walder, E.J., Affolter, V.K., 2005, Skin Diseases Of
The Dog and Cat Clinical and Histopathologic Diagnosis, IOWA: Blackwell Publishing company.
Heinrich, N.A., Eisenschenk, M.,
Harvey, R.G., dan Nuttall, T.I.M., 2019, Skin Diseases of
the Dog and Cat: Third Edition, Boca Raton Florida: Taylor & Francis Group.
Hensel, P., Santoro, D., Favrot, C., Hill, P., dan Griffin, G., 2015, “Canine atopic dermatitis: detailed
guidelines for diagnosis and allergen identification”, BMC
Veterinary Research, 11(196), hal. 1-13.
Hillier, A., dan
Griffin, C.E.,
2001, “The
ACVD task force on canine atopic dermatitis (I): incidence and prevalence”, Veterinary
Immunology and Immunopathology, 81(3–4), hal. 147-151.
Leo,
S.T., dan
Yustinasari,
L.R., 2019, “Management of
atopic dermatitis in
dog”, Indian
Veterinary Journal, 96(10), hal. 74-76.
Nuttall,, Marsella, Rosenbaum,, Gonzales,, dan Fadok,Update on
pathogenesis, diagnosis, and treatment of atopic dermatitis in dogs”, J Am Vet Med Assoc, 254(11), hal. 1291-1300.
Purnama, K.A., Winaya, I.B.O., Adi, A.A.A.M., Erawan, I.G.M.K., Kardena,
I.M., dan Suartha, I.N., 2019, “Gambaran
Histopatologi Kulit Anjing Penderita Dermatitis”, Jurnal Veteriner, 20(4), hal.
486-496.
Purwanti, N.L.L., Suartha, I.N., dan Suarsana, I.N., 2022, “Laporan Kasus: Penyembuhan Lesi
Makroskopik Anjing Kacang Penderita Dermatitis Atopik Pascaterapi Madu
Trigona Selama 30 Hari”, Indonesia Medicus
Veterinus, 11(4), hal. 493-506.
Komentar
Posting Komentar