penyakit yang sangat merugikan, terutama karena menyebabkan penurunan produksi susu secara signifikan. Hampir 70% dari total kerugian akibat mastitis disebabkan oleh penurunan produksi susu (Lukman et al. 2009). Selain itu, mastitis juga mengakibatkan penurunan kualitas susu, yang berpengaruh pada nilai ekonomis. Kerugian lainnya yang disebabkan oleh mastitis mencakup peningkatan biaya perawatan dan pengobatan, pengafkiran dini ternak, serta pengeluaran tambahan untuk membeli sapi perah baru (Subronto 2003).
Manifestasi klinis dari mastitis dapat dibagi
menjadi dua jenis: mastitis klinis dan mastitis subklinis.
Mastitis klinis ditandai dengan gejala yang jelas seperti perubahan warna susu,
penggumpalan protein susu, dan kerusakan pada ambing. Sementara itu, mastitis
subklinis tidak menunjukkan gejala yang tampak jelas, namun kualitas susu sudah
mengalami penurunan. Menurut International Dairy Federation (IDF), mastitis
subklinis ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatis (>400.000 sel/ml)
dan keberadaan bakteri patogen. Susu dari sapi dengan mastitis subklinis
biasanya berasal dari kuartir yang tampak normal selama masa laktasi (Lukman et
al. 2009). Kasus mastitis
subklinis sangat tinggi, mencakup sekitar 97-98% dari seluruh kasus mastitis
yang terdeteksi. Di Indonesia, prevalensi mastitis berkisar antara 67-90%
(Lukman et al. 2009). Laporan lain menyebutkan bahwa prevalensi mastitis
subklinis di peternakan sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Daerah Istimewa Yogyakarta berkisar antara 37-67% (Supar 1997). Di ruminansia kecil seperti kambing,
mastitis juga dapat menyebabkan dampak yang serupa, meskipun prevalensinya
mungkin tidak sebesar pada sapi. Kambing perah yang menderita mastitis akan
mengalami penurunan produksi susu dan kualitas susu yang dihasilkan, sehingga
berdampak pada kualitas produk turunan seperti keju dan yogurt.
Penyebab utama mastitis adalah infeksi bakteri,
terutama dari golongan Staphylococcus sp., Streptococcus
sp., dan bakteri coliform. Namun, ada juga bakteri patogen lain yang
dapat menyebabkan mastitis. Penularan mastitis sering kali terjadi melalui
proses pemerahan yang tidak higienis. Agen penyebab mastitis biasanya menyebar
selama proses pemerahan, terutama jika sanitasi peternak buruk. Agen tersebut
dapat menyebar dari satu puting ke puting lainnya atau dari satu sapi ke sapi
lain melalui tangan pemerah, air yang digunakan untuk membersihkan ambing, atau
peralatan pemerahan yang tidak steril (Supar & Aryanti 2008).
Diagnosis mastitis subklinis
lebih sulit dibandingkan mastitis klinis karena tidak adanya gejala yang
terlihat jelas. Gejala yang paling umum adalah penurunan produksi susu.
Diagnosis mastitis subklinis juga dapat dilakukan dengan menguji komposisi
susu, namun yang lebih umum adalah melalui penghitungan jumlah sel somatis dan
pemeriksaan keberadaan bakteri patogen. Pemeriksaan
dan diagnosis dini terhadap hewan yang dicurigai menderita mastitis sangat
penting dilakukan. Deteksi dini membantu mencegah kerugian yang lebih besar dan
memungkinkan tindakan pengobatan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2011. Susu
Segar Bagin 1: Sapi. SNI No 3141.1 2011.
Lukman DW, Purnawarman T. 2008. Penuntun Praktikum
Higiene Pangan Asal Hewan. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner. Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.
Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya
AW, et al. 2009.
Higiene Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner. Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Edisi
Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 309 - 351.
Supar. 1997.
Mastitis Subklinis pada Sapi Perah Di Indonesia: Masalah dan
Pendekatanya. Wartazoa 6(2): 48-52
Supar, Aryanti T. 2008. Kajian Pengendalia Mastitis Subklinis
pada Sapi Perah. Dalam Puslitbang
Peternakan. Prosiding Prospek
Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor. 21 April 2008. Hal 360-366.
Komentar
Posting Komentar