Berbicara mudik, teringat belasan tahun lalu saat jadi mahasiswa di Bogor.
Enam tahun berkuliah, enam tahun pula tidak pernah mudik.
Pertama kali tidak mudik rasanya TIDAK seperti nano-nano, tidak ada rasa manisnya, hanya asam dan pedas yang terasa di dada. Melihat teman, sahabat satu persatu meninggalkan asrama dengan membawa koper dan senyum bahagia akan bertemu keluarga.
Apa daya, saat itu anak rantau yang tidak punya apa-apa ini, tidak bisa berbuat apa-apa. Kampung tempat orang tua menetap nan jauh dimata. Bogor - Ternate, jarak yang tidak bisa di bilang dekat. Niat hati mau mencari alternatif mudik menggunakan kapal, namun apa daya, pulang balik bisa mencapai dua minggu. Habis waktu dijalan, takkan tersisa untuk bersua bertemu keluarga.
Melihat harga pesawat, tidak sampai hati memaksa Sebe-Adjus (Orang tua) memutar otak mencarikan dana hanya untuk pulang, bersua, dan bertemu.
Akhirnya tetap memilih untuk menetap, walaupun terasa sangat sepi. Dari ratusan orang penghuni asrama, hanya tersisa dua tiga orang, dan itu termasuk saya.
Lebaran tanpa (Burasa'), lebaran tanpa Coto dan Soto, Lebaran tanpa ayam dan daging. Hanya ditemani sebungkus indomie. Luar biasa rasanya kawan.
Anak 19 tahun yang baru pertama kali merantau, baru pertama kali jauh dari keluarga, pertahanannya akhir luluh juga. Setelah sholat Idul Fitri, air mata-nya mengalir membasahi pipi, bukan karena sedih ditinggal ramadhan, tapi sedih meratapi nasip.
Akhirnya semua itu bisa terlewati. Masa dimana kita harus mengerti, bahwa untuk mendapatkan kehidupan kita butuh perjuangan.
Yang masih sedang berjuang! semangat teman, semoga sukses menanti.
Yang sudah menikmati, saya ucapkan selamat.
Semoga kita semua selalu di rahmati Allah. Untuk mencapai kebahagiaan tertinggi dan hakiki.
Komentar
Posting Komentar