Langsung ke konten utama

Vaksinasi Pentingkah?

Dalam dunia kesehatan hewan, kegiatan vaksinasi juga berperan penting dalam memberikan perlindungan pada kesehatan hewan peliharaan kita. Namun ternyata, masih sering kita temukan pemilik hewan yang enggan memvaksin hewan peliharaannya (antivaksin) dengan berbagai alasan. Oleh karena itu, mari kita kenali dan pahami lebih dalam tentang pentingnya vaksinasi pada hewan peliharaan kita

Vaksin merupakan sediaan yang dapat meningkatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Vaksin sangat berguna untuk menjaga kesehatan hewan secara individual maupun dalam suatu populasi (mencegah penularan penyakit antara hewan).  Beberapa jurnal penelitian seperti yang di tulis oleh  Scherk MA dalam Journal of Feline Medicine dan Surgery menyebutkan bahwa vaksinasi memiliki peranan penting untuk menurunkan jumlah kasus-kasus penyakit menular pada hewan. Laporan dari WSAVA (World Small Animal Veterinary Asosiation) atau organisasi internasional untuk kesehatan hewan yang di tulis oleh Day et al. (2006) juga menyebutkan bahwa vaksinasi pada hewan akan sangat berguna untuk mencegah penularan penyakit pada suatu populasi hewan serta mencegah terjadinya penularan penyakit dari hewan ke manusia.

Vaksin merupakan bahan yang terdiri atas antigen (mikroorganisme) hidup yang dilemahkan (live attenuated), killed  atau inactivated vaccine, maupun Modified Live Vaccine. Didunia berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh WSAVA menyebutkan bahwa ada beberapa tipe jenis vaksin yang dapat digunakan, pada umumnya vaksin yang beredar pada hewan adalah tipe Modified vaksin sama seperti yang ada di Indonesia.

Modified Live Vaccine (biasanya vaksin virus) adalah virus viable (hidup) yang dimodifikasi sehingga kehilangan keganasannya (virulensi) dan melalui passase berulang-ulang pada kultur sel yang bukan hostnya atau bisa menghilangkan gen (gene deletion) yang membawa sifat virulensi.  Vaksin MLV menginduksi system kekebalan dengan cepat dan bertahan lama karena ini mirip dengan infeksi alami. Selain itu karena merupakan immunogen yang poten dan sangat baik, vaksin MLV tidak memerlukan adjuvant yang biasanya menjadi penyebab utama reaksi alergi.  Kemungkinan mutasi sudah diperhitungkan oleh peneliti dan sangat kecil sekali probabilitasnya.  Dan beberapa tingkat kewaspadaan sudah diberikan oleh para peneliti seperti tidak boleh memberikan MLV pada hewan bunting dan hewan dalam keadaan imunosupresi (baik karena obat, genetic maupun penyakit infeksi). 

Vaccine Induced Disease bisa terjadi pada individu yang mengalami penekanan sistem kekebalan (immunocompromised) karena sebab-sebab yang telah disebutkan diatas.  Vaksin MLV tidak disarankan untuk virus-virus yang bersifat laten dan mudah bermutasi seperti FeLV ataupun FIV. Vaksin inactive lebih stabil dari aspek genetic juga penyimpanan.  Merupakan immunogen yang baik namun tidak sepoten MLV sehingga pemberiannya harus disertai dengan adjuvant.  Berbagai macam jenis vaksin inactive.  Ada yang menggunakan whole virus ataupun partial protein (biasanya menggunakan teknik rekombinan) atau hanya sebagian DNA virusnnya saja.  Untuk vaksin inactive biasanya adverse effect (side effect) yang terjadi berkaitan dengan adjuvant.

Menurut Day et al. (2016) menyebutkan bahwa hewan mulai bisa divaksinasi  pada saat umur   6-8 minggu. Vaksinasi awal biasanya diberikan pada umur 8 minggu ketika kadar maternal antibodi yang diperoleh dari induknya mulai turun, vaksinasi pada usia 6 minggu biasanya diberikan pada hewan yang dilahirkan dari induk yang belum menerima vaksinasi. Maternal antibodi yang diperoleh dari induk akan digantikan oleh antibodi yang diperoleh melalui vaksinasi dan tentu saja akan memberikan perlindungan pada hewan peliharaan kita. Perlindungan maksimal pada hewan dapat diperoleh dengan pemberian vaksin ulangan (booster)  yang bertujuan untuk membentuk dan memelihara kekebalan tubuh secara klinis sambil meminimalkan potensi efek samping yang merugikan. Australian Veterinary Association dan WSAVA merekomendasikan pemberian vaksin ulangan sebanyak dua sampai tiga kali pada anak kucing dan anak anjing, dengan interval 4 minggu sampai umur 16 minggu atau lebih untuk menjaga agar konsentrasi antibodi tetap tinggi. Selanjutnya pemberian booster vaksin dilakukan dalam waktu 12 bulan kemudian atau biasa kita sebut vaksin tahunan. Day et al. (2016) juga menyebutkan ada beberapa vaksin wajib dan tambahan yang dapat diberikan pada hewan khususnya pada anjing dan kucing.

 

Vaksin Wajib

Anjing

Kucing

Umur 8 minggu

Distemper, Hepatitis, Parvovirus, Parainfluenza

Panleukopenia, Feline Viral Rhinotracheitis, Calicivirus

Umur 12 minggu

Booster vaksin sebelumnya (distemper, hepatitis, parvovirus, parainfluenza)

Booster vaksin sebelumnya (Calicivirus, Panleukopenia, Feline Viral Rhinotracheitis)

 

Feline Leukemia Virus

Umur 16 minggu

Booster vaksin sebelumnya (distemper, hepatitis, parvovirus, parainfluenza)

 

 

Vaksin Rabies*

Booster vaksin sebelumnya (Calicivirus, Panleukopenia, Feline Viral Rhinotracheitis, Feline Leukemia Virus)

 

Vaksin Rabies*

 

 

 

Vaksin Tambahan

Anjing

Kucing

 

Leptospirosis, Bordotella, Coronavirus

Chlamydophilia, Bordotella, FIP, FIV

Pemberian vaksin tidak direkomendasikan diberikan pada hewan peliharaan kucing dan anjing yang masih berumur kurang dari 6 minggu. Hal tersebut dikarenakan 1) vaksin dapat diblokir oleh maternal antibodi yang diturunkan dari induk 2) anak anjing dan anak kucing masih terlindungi secara pasif sehingga belum membutuhkan vaksin 3) sistem kekebalan tubuh mereka lebih matang dan menghasilkan perlindungan yang lebih baik sampai usia 6 minggu atau lebih (Day et al. 2015).

Beberapa syarat berikut perlu diperhatikan sebelum dilakukannya vaksinasi, diantaranya:

1) Hewan yang akan divaksin harus dalam kondisi sehat, dokter hewan Anda akan memastikan terlebih dahulu kondisi hewan sehat secara klinis dan tidak dalam kondisi stres. Salah satu indikator sehat yang penting untuk diperhatikan sebelum dilakukan vaksinasi ialah harus bebas dari parasit cacing. Menurut WHO dalam Guidelines for Comprehensive Multi-Year Planning for Immunization menyebutkan bahwa pemberian obat cacing sebelum vaksinasi akan sangat bermanfaat untuk membantu pembentukan antibodi, dikarenakan adanya parasit cacing dapat menggangu respon imunologi dalam pembentukan antibodi pasca pemberian vaksin. Vaksinasi pada hewan yang sakit tidak disarankan karena antibodi yang terbentuk menjadi tidak optimal.

2) Hewan tidak dalam keadaan bunting, pemberian vaksin pada hewan bunting tidak direkomendasikan karena kurangnya data mengenai keamanan dan khasiat vaksin bila diberikan pada hewan bunting. Pemberian vaksin dapat menyebabkan gangguan kesehatan hingga kematian pada janin. (American Animal Hospital Association 2011)

Pada beberapa individu tertentu, efek samping kadang terjadi setelah pemberian vaksin. Beberapa efek samping vaksinasi menimbulkan reaksi ringan dan sementara (1-2 hari setelah vaksinasi) seperti kelesuan, demam ringan, kekakuan, dan penurunan nafsu makan. Reaksi sedang sampai parah ditunjukkan dengan kejadian alergi ringan seperti gatal-gatal, reaksi hipersensitivitas tipe 1 (anafilaksis), dan edema/kebengkakan di wajah yang dapat terjadi dalam hitungan menit sampai jam setelah vaksinasi. Namun beberapa efek samping baru terlihat dalam hitungan berbulan-bulan atau bertahun-tahun hingga terlihat secara klinis seperti FISS atau feline injection site sarcoma.

Sebagai pemilik hewan anda sebenarnya tidak perlu takut untuk melakukan vaksinasi untuk hewan peliharaan anda. Setiap produk vaksin yang diberikan pada hewan tentu harusnya aman, protektif dan efektif mencegah penyakit karena sebelum vaksin tersebut dipasarkan tentu harus melalui serangkaian uji laboratorium dan klinik terlebih dahulu.

Efek samping dari vaksinasi bisa terjadi namun jika ditimbang risiko dan benefitnya maka benefit dari vaksinasi jauh lebih tinggi, untuk melindungi hewan secara khusus dan lingkungan, selain itu vaksinasi juga mempercepat proses eliminasi suatu agen pathogen dari alam.

Dengan vaksinasi kita  sudah berkontribusi dalam pencegahan penularan penyakit hewan ke hewan juga penyakit hewan ke manusia. Sebaliknya dengan tidak memvaksinasi hewan peliharaan kita tentu kita sudah ikut menyumbang dalam penularan penyakit hewan ke hewan maupun dari hewan ke manusia.  

Preventive health care can help your pet live a happy and healthy life.

 

Literatur:

American Animal Hospital Association. 2011. Canine vaccination guidelines. Journal of American Animal Hospital Association. 47:5.

Australian Veterinary Association-Vaccination of dogs and cats

Day MJ, Horzinek MC, Schultz RD, Squires RA. 2016. Guidelines for the vaccination of dogs and cats. Journal of Small Animal Practice. 57: 1-45.

Day MJ, Horzinek MC, Schultz RD. 2015. Vaccination guidelines for the owners and breeders of dogs and cats. Available at: www.wsava.org

Schultz RD. 1999. Veterinary Vaccines and Diagnostics. San Diego (London): Academic Press.

Wibawan IWT, Soejoedono RD. 2013. Intisari Imunologi Medis. Bogor (Indonesia): Fakultas Kedokteran Hewan IPB Pr. Hlm 100-110.

WHO. 2013. Guidelines for Comprehensive Multi-Year Planning for Immunization., Geneva, Switzerland: WHO Document Production Services.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar di...

Kasus Displasia Abomasum pada Sapi

Displasia Abomasum (DA) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum dari lokasi yang sebenarnya.  Umumnya kasus DA banyak terjadi pada sapi perah ( Friesian Holstein ) yang memiliki produksi susu yang tinggi. Kasus ini biasanya terjadi pada akhir masa kebuntingan berkisar 2 minggu sebelum kelahiran (2 minggu prepartus ) dan pada awal masa laktasi yaitu sekitar 8 minggu setelah kelahiran (8 minggu post partus). Selain sapi, kasus DA juga dapat terjadi pada jenis ruminansia lainya, walaupun kasus pada rumininasia lainnya jarang terjadi.

Stud tail ( Feline Tail Gland Hyperplasia)

Pernah punya kucing yang ekornya selalu kotor berwarna hitam , kadang berkerak, bahkan sampai bisa menyebabkan kebotakan? Klo teman-teman punya kasus serupa ini biasa disebut Stud tail   atau istilah kerenya Feline Tail Gland Hyperplasia. Pengertian Kasus Stud Tail merupakan suatu kondisi ketika ekor kucing jantan memiliki kelenjar Apokrin ( keringat )   dan kelenjar Sebaceus ( minyak) yang aktif pada bagian atas ekor. Kelenjar ini menghasilkan hipersekresi lilin yang membuat lesi kucing menjadi berkerak dan membuat kerontokan pada rambut (bulu). Jika kondisi ini sudah parah, maka bisa membuat ekor kucing menjadi rentan terhadap infeksi bakteri dan menyebabkan bau tak sedap. Kasus ini umumnya terjadi pada kucing jantan walaupun demikian tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada kucing betina. Selain di bagian ekor kondisi ini juga bisa terjadi dibagian bawah dagu kucing. Penyebab Pada kasus ini ternjadi hiperplasia pada kelenjar sebaceus dan apokrin sehingga terjadi...