Langsung ke konten utama

Ear Mite Penyebab Gatal Tak Berujung Pada Hewan Peliharaan

Sering melihat hewan kesayangan anda menggaruk telinga? Bahkan terkadang saat menggaruk telinga, hewan anda terlihat sangat kesakitan? Bila hal ini terjadi, sangat


mungkin hewan peliharaan anda terinfeksi oleh tungau. Salah satu jenis tungau yang sangat sering menginfeksi telinga dan menyebabkan gatal ialah ear mite (Otodectes sp.) atau sering kita dengar dengan sebutan kutu telinga. Ear mite merupakan salah satu permasalahan pada hewan yang sangat sulit untuk dihindari dan membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk diobati. Tingkat kejadian kasus ini pada hewan juga cukup tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat infestasi ear mite pada kucing mencapai 32 %  (Rataj et al. 2002). Ear mite juga merupakan salah satu penyebab utama terjadinya otitis (radang telinga). 

Ear mite merupakan sejenis ektoparasit yang hidup di permukaan kulit pada saluran telinga hewan. Umumnya pada anjing dan kucing kondisi ini disebabkan oleh Otodectes cyanotis. Parasit ini akan menyebabkan beberapa kondisi seperti gatal yang hebat pada bagian telinga (biasanya ditandai dengan seringnya hewan menggaruk telinga). Kondisi gatal yang hebat dan kegiatan menggaruk telinga tersebut dapat menyebabkan terjadinya luka disekitar telinga, bahkan dapat menyebabkan terjadinya ear hematoma. 

Rasa gatal yang timbul akibat infeksi ear mite dikarenakan jenis parasit ini terus menusuk bagian dalam telinga untuk memperoleh darah dan cairan dari inangnya. Selain itu rasa gatal yang timbul diperparah dengan reaksi alergi yang muncul akibat sekresi cairan dan ekskreta dari Otodectes cyanotis. Infestasi Otodectes cyanotis dapat diikuti dengan adanya iritasi yang ringan sampai iritasi yang berat. Iritasi ini bila diikuti oleh infeksi sekunder bakteri atau jamur dapat menyebabkan kondisi otitis (peradangan pada telinga). Gejala lain yang ditunjukkan oleh hewan yang terinfeksi ear mite ialah bentuk serumen telinga yang terkadang berbentuk kerak yang kering dan rapuh, berwarna coklat kehitaman, menempel pada dinding telinga, atau terlihat seperti bubuk kopi. Selain itu serumen telinga pada kasus ini juga dapat terlihat seperti bentuk lilin yang berwarna coklat kehitaman (Eldredge et al. 2008). Selain ditelinga, parasit ini juga dapat menyerang bagian tubuh hewan lainnya seperti pada bagian kulit di leher dan punggung (Bowman et al. 2002). 

Ear mite dapat menular antar hewan melalui kontak langsung atau kontak pasif dengan hewan yang terinfeksi oleh ear mite. Siklus hidup parasit ini berkisar sekitar 3-4 minggu. Walaupun demikian pada kondisi suhu lingkungan yang hangat, parasit ini dapat berkembang lebih cepat bahkan hanya berkisar 13-15 hari. Parasit ini dapat bertahan hidup di lingkungan in vitro dengan suhu 35 0C dan kelembapan 80 % sampai berbulan-bulan (Bowman et al. 2002). Penelitan dari Kustiningsih (2001), menyebutkan bahwa kasus ear mte sebagian besar terjadi pada hewan muda (kurang dari satu tahun) dan juga biasanya terjadi pada hewan jantan dibandingkan hewan betina. Kasus ear mite juga lebih banyak ditemukan pada hewan berbulu panjang dibandingkan dengan yang berbulu pendek. Kasus ear mite juga lebih banyak ditemukan pada kucing dibandingkan pada anjing.

Selain dapat menular  antar sesama hewan, ear mite juga dapat bersifat zoonotik (dapat menular kemanusia), walaupun kasusnya masih jarang ditemukan (Chitty & Hendricks 2007; The center of food security and public health 2012). Laporan dari bowman et al. (2002) juga menyebutkan bahwa adanya dua kasus infeksi Otodectes sp. pada manusia. Pada salah satu kasus ditemukan Otodectes jantan dewasa, satu betina dewasa, dan empat larva dari kerak yang diambil pada bagian telinga kanan. Kondisi ini menunjukkan walaupun memiliki potensi yang kecil, kasus ear mite tidak boleh disepelekan dan sesegera mungkin ditangani. 

Cara untuk menentukan apakah hewan peliharaan kita positif terinfeksi oleh ear mite  atau tidak, sebaiknya segera dibawa ke dokter hewan anda. Dokter hewan akan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan otoscope ataupun menggunakan mikroskop untuk memastikan keberadaan parasit Otodectes cynotis tersebut. Menurut Bowman et al. (2002) menyebutkan bahwa pemeriksaan ear mite dapat dilakukan dengan pemeriksaan otoscopic atau dengan melakukan pemeriksaan sampel seremen telinga dibawah mikroskop dengan pembesaran 40x. 

Penanganan kasus ear mite sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, pertama ialah dengan pemberian obat sistemik berupa suntikan antikutu (harus dilakukan oleh dokter hewan) dan dengan pemberian obat tetes telinga.  Laporan dari Kustiningsih (2001) menyebutkan tingkat keberhasilan pengobatan ear mite yang di ikuti dengan penyuntikan obat antikutu mencapai 82.58 – 90.90 %. Selain dengan terapi, penanganan kasus ear mite akan lebih efektif bila di ikuti dengan pembersihan telinga yang dilakukan secara rutin. Segera konsultasikan dengan dokter hewan anda untuk rencana pengobatan yang lebih efektif dan efisien dalam membasmi parasit ini (.  


Sumber Acuan 

Bowman DD, Hendrix CM, Lindsay DS, Barr SC. 2002. Feline Clinical Parasitology. Iowa (US): Iowa State University Pr.

Blagburn BL, Dryden MW. 2000. Pfizer Atlas of Veterinary Clinical Parasitology. USA; Pfizer.

Chitty J, Hendricks A. 2007. Zoonotic skin disease in small animals. In Practice  29: 92-97

Eldredge DM, Carlson DG, Carlson LD, Giffin JM. 2008. Cat Owner’s Home VETERINARY Handbook. Wiley Publishing, Inc., Hoboken, New Jersey

Kustiningsih H. 2001. Studi Kasus Otitis Akibat Otodectes Cyanotis pada kucing di Rumah Sakit Hewan Jakarta sejak tahun 1999 – 2000. Skripsi. IPB Press

Rataj AV, Posedi J, Bidovec A. 2002. Ectoparasites: otodectes cynotis, felicola subrostratus and notoedres cati  in the ear of cats. Slov vet res 2002; 41 (2): 89-92.

The Center of Food Security and Public Healt. 2012. Acariasis: Mange and Other Mite Infestations. Iowa State University

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar di...

Kasus Displasia Abomasum pada Sapi

Displasia Abomasum (DA) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum dari lokasi yang sebenarnya.  Umumnya kasus DA banyak terjadi pada sapi perah ( Friesian Holstein ) yang memiliki produksi susu yang tinggi. Kasus ini biasanya terjadi pada akhir masa kebuntingan berkisar 2 minggu sebelum kelahiran (2 minggu prepartus ) dan pada awal masa laktasi yaitu sekitar 8 minggu setelah kelahiran (8 minggu post partus). Selain sapi, kasus DA juga dapat terjadi pada jenis ruminansia lainya, walaupun kasus pada rumininasia lainnya jarang terjadi.

Stud tail ( Feline Tail Gland Hyperplasia)

Pernah punya kucing yang ekornya selalu kotor berwarna hitam , kadang berkerak, bahkan sampai bisa menyebabkan kebotakan? Klo teman-teman punya kasus serupa ini biasa disebut Stud tail   atau istilah kerenya Feline Tail Gland Hyperplasia. Pengertian Kasus Stud Tail merupakan suatu kondisi ketika ekor kucing jantan memiliki kelenjar Apokrin ( keringat )   dan kelenjar Sebaceus ( minyak) yang aktif pada bagian atas ekor. Kelenjar ini menghasilkan hipersekresi lilin yang membuat lesi kucing menjadi berkerak dan membuat kerontokan pada rambut (bulu). Jika kondisi ini sudah parah, maka bisa membuat ekor kucing menjadi rentan terhadap infeksi bakteri dan menyebabkan bau tak sedap. Kasus ini umumnya terjadi pada kucing jantan walaupun demikian tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada kucing betina. Selain di bagian ekor kondisi ini juga bisa terjadi dibagian bawah dagu kucing. Penyebab Pada kasus ini ternjadi hiperplasia pada kelenjar sebaceus dan apokrin sehingga terjadi...