Langsung ke konten utama

Penyakit Parvo pada Anjing


Anjing

Penyakit Parvo merupakan salah satu penyakit viral yang cukup sering terjadi pada hewan kecil khususnya pada anjing. Infeksi Canine Parvovirus pertama kali ditemukan di Texas, Amerika Serikat pada tahun 1977, baru kemudian menyebar ke seluruh wilayah di dunia. Di Indonesia,  infeksi Canine Parvovirus (CPV) banyak ditemukan pada anjing muda, walaupun demikian penyakit ini dilaporkan dapat menyerang anjing pada semua umur. Dilaporkan bahwa 87%  kasus CPV  tipe enteritis terjadi pada anak anjing di bawah umur 6 bulan. Semakin  tua umur anjing, maka gejala klinis yang ditimbulkan tidak terlalu parah (Smith  et al. 1980).

 Pada anak anjing kejadian infeksi Canine Parvovirus akan menjadi semakin buruk apabila disertai dengan adanya infeksi parasit, stress di tempat baru, keadaan di dalam kandang yang terlalu padat, sanitasi yang buruk, titer antibodi induk rendah dan kegagalan tubuh membentuk respon kekebalan (Sendow 2003).

Infeksi Canine Parvovirus (CPV) memiliki tingkat mortalitas yang sangat tinggi, pada anak anjing tingkat mortalitasnya dapat mencapai 100% (Sendow & Hamid 2004). Penyakit ini umumnya menyerang saluran pencernaan, namun dapat juga menyerang jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak pada anjing (Sendow 2003).

Sifat Virus
Canine Parvovirus merupakan virus DNA (deoksiribo nucleic acid) rantai tunggal dengan diameter virus CPV berkisar 20 nm, virionnya berbentuk partikel ikosahedral serta tidak beramplop dan perkembangbiakan virus ini sangat tergantung pada sel inang yang sedang aktif membelah. Dalam gradien CsCl, CPV mempunyai kepadatan gradien 1,43 g/ml. CPV terdiri dari 3 protein virus yaitu VP1, VP2, dan VP3 dengan berat molekul 82.500 sampai 63.500 (Sendow 2003).

Canine Parvovirus sangat stabil pada pH 3 sampai 9, suhu 56 sampai 60°C selarna 1 jam, pada pelarut lemak dan pada konsentrasi garam yang tinggi. Parvovirus akan mati melalui kontak dengan sodium hipokhlorida dan gluteraldehyda.  Canine Parvovirus  dapat diinaktifkan dengan formalin, O-propiolaktan, hydroxylamine dan radiasi ultra violet. Canine Parvovirus dapat bereplikasi  pada sel epitel usus (kripta ileum), sumsum tulang dan fetus (Natih 2005).

Inang Rentan
Canine Parvovirus memiliki beberapa serotipe, antara lain serotipe 1 dan 2. Canine Parvovirus serotype-1 (CPV-1) atau Minute Virus of Canine (MVC) kurang bersifat patogen. Umumnya  Canine Parvovirus yang menyebabkan adanya kematian pada anak anjing ialah dari serotipe 2 (Natih 2005).

Faktor risiko penyakit virus parvo pada anjing meliputi umur hewan, jenis kelamin, ras anjing, status vaksinasi, musim, kelembaban, dan suhu lingkungan. Canine Parvovirus dapat menginfeksi anjing berbagai ras, umur ataupun jenis kelamin. Resiko umur paling tinggi terjadi pada anak anjing yang berumur 6 minggu sampai 6 bulan. Predisposisi ras yang dilaporkan beresiko tinggi pada ras Rottweiler, Dobermann pinscher, American pitbull terriers, German sheperd, English springer spaniels, Labrador retriever, Staford vhire dan Alaskan sled (Natih 2005). Selain itu laporan lainya menyebutkan bahwa beberapa ras anjingseperti Bassethound, Rottweiler, Pomerian, Minipincher, dan Chihuahua sangat rentan terkena parvovirus. Dilaporkan bahwa ras-ras jenis tersebut mempunyai genetic lineages yang sama dan rentan terhadap parvovirus (Suartha et al. 2011).

Gejala Klinis
Pada temuan pemeriksaan klinis infeksi Canine Parvovirus (CPV) biasanya ditandai dengan gejala–gejala seperti demam, lesu, depresi, dan nafsu makan berkurang. Pada tahap lanjut gejala yang muncul dapat berupa muntah–muntah, dehidrasi, dan diare berdarah yang berakhir dengan kematian dalam waktu kurang dari 3 hari (Iqbal et al. 2006). Infeksi CPV tidak hanya menyerang saluran pencernaan tetapi juga menyerang jantung yang dapat berakibat kematian mendadak pada anak anjing.  
 
Sumber : http://www.dogwoodpet.com/wp-content/uploads/Parvo.jpg
Pada pemeriksaan mikroskopik, perubahan yang paling menonjol adalah terlihatnya degenerasi hingga nekrosis dan hiperplasia dari epitel kripta pada usus bagian duodenum atau yeyunum. Pada kripta yang mengalami kerusakan ini, banyak ditemukan sel-sel debris. Atropi organ sistem pertahanan tubuh juga sering terlihat pada anjing-anjing yang terinfeksi CPV. Badan inklusi intranukleus yang bersifat basopilik pada epitel kripta dapat ditemukan tergantung dari lamanya hewan tersebut telah terinfeksi (Sendow dan Hamid 2004).

Patogenesa
Penularan Canine Parvovirus dapat melalui kontak langsung dengan anjing yang terinfeksi CPV atau makanan yang telah terkontaminasi oleh CPV. CPV dapat diekskresikan melalui feses, air seni,air liur dan muntah. Virus akan masuk kedalam tubuh melalui jalur oronasal (saluran pencernaan dan pernafasan). Replikasi virus CPV dimulai 1 sampai 2 hari setelah infeksi di jaringan limfoid oropharing, limfonodus mesenterika dan timus. Infeksi virus sistemik pada jaringan limfoid usus halus tejadi 3 hari setelah pasca infeksi melalui viremia. Viraemia terjadi 3 sampai 4 hari setelah infeksi dan bertahan selama 2 hingga 5 hari. Pada saat viraemia, virus berkembang biak dengan cepat di jaringan yang sedang aktif membelah seperti sumsum tulang belakang, jaringan limfatik seperti limfoid di oropharyngs dan Limfoglandula mesentericus dan epitel kripta usus (Sendow 2003).

Pada anjing yang terinfeksi CPV, virus bereplikasi di epitel germinal kripta usus sehingga sel-sel epitel rusak dan kolaps. Karena tejadi kerusakan pada epitel germinal mengkibatkan pergantian sel normal (biasanya antara 1 sampai 3 hari pada usus halus) terganggu dan vili menjadi pendek. Akibat infeksi virus pada epitel usus menyebabkan absorbsi cairan terganggu. Selain itu, pengeluaran cairan dari saluran pencernaan akan terus meneurs terjadi (kondisi diare) (Natih 2005).

Canine Parvovirus juga merusak mitoticcaly active precursor sirkulasi sel leukosit dan limfoid. Pada infeksi yang parah sering terjadi neutropenia dan limfopenia. Infeksi sekunder dari bakteri Gram negatif dan mikroflora anaerob menyebabkan terjadinya komplikasi sehingga menyebabkan kerusakan hebat pada usus, bakterimia clan endotoksemia serta Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).  Pada anjing-anjing yang sembuh dari infeksi CPV, kekebalan bertahan selama 20 bulan lebih. Beberapa laporan menyebutkan  Antibodi terhadap CPV masih dapat terdeteksi hingga 3 tahun (Sendow & Syafiiati 2004).

Identifikasi virus
Untuk identifikasi hewan yang menderita parvo virus utamanya dilakukan dengan pemeriksaan secara klinis terhadap hewan. Selain itu, deteksi cepat dapat dilakukan melalui tes kit yang bisa di dapatkan di dokter hewan.  Prinsip utama tes kit ini ialah mendeteksi antigen permukaan protein CPV (termasuk partikel virus utuh) yang terdapat dalam feses  anjing yang terinfeksi. Selain itu tindakan idenfikasi lainya yang dapat dilakukan ialah dengan pengujian serologi    berupa HA Test, HI Test, Elisa dan PCR.


Pencegahan dan Pengobatan
Program pengendalian Infeksi Canine Parvovirus  di Indonesia saat ini banyak dilakukan dengan tindakan vaksinasi. Tindakan vaksinasi dilaporkan dapat menekan angka kejadian dari Infeksi Canine Parvovirus. Walaupun demikian, anjing yang telah divaksinasi tetap berisiko untuk terinfeksi penyakit ini. Tingkat kegagalan vaksinasi dapat mencapai 20% (Sendow 2003).

Umumnya pengobatan untuk kasus parvo dilakukan dengan pengotan berdasarkan gejala yang muncul karena obat untuk penyakit ini sendiri belum ada. Pengobatan pada kasus ini umumnya dilakukan dengan meningkatkan daya tahan tubuh dari hewan itu sendiri. Bila telah terjadi kondisi dehidrasi umumnya dapat dilakukan terapi cairan (infuse). Bila terdapat infeksi sekunder lainya seperti infeksi bakteri maka dapat dilakukan antibiotic.
           
Daftar Pustaka
Iqbal M, Kustiyo A, Handharyani E. 2006. Klasifikasi pasien suspect Parvo dan Distemper pada data rekam medik Rumah Sakit Hewan IPB menggunakan voting feature intervals. [Skripsi]. Program Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Natih KKN. 2005. Aspek Diagnosis dan Patogenesis Isolat Lokal Canine Parvovirus (RNS 57). [Tesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Sendow I. 2003. Canine Parvovirus pada anjing. Wartazoa 13(2):56-64.
Sendow I, Hamid H. 2004. Isolasi virus penyebab Canine Parvovirus dan perubahan patologik infeksi pada anjing. JITV 9(1): 46-54.
Sendow I, Syafiiati. 2004.  Seroepidemiologi Infeksi Canine parvovirus pada Anjing. JITV 9(3): 181-192.
Smith JR, Farmer TS, Johnson RT. 1980. Serological observations on the epidemiology of parvovirus enteritis of dogs. Aust. Vet. J. 56: 149–150.
Suartha IN, Mustikawati D, Erawan IGMK, Widyastuti SK. 2011. Prevalensi dan faktor resiko penyakit virus parvi pada anjing di Denpasar. J. Vet 12(3): 235-240.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar diseluruh belahan dunia. Di ind

Kasus Displasia Abomasum pada Sapi

Displasia Abomasum (DA) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum dari lokasi yang sebenarnya.  Umumnya kasus DA banyak terjadi pada sapi perah ( Friesian Holstein ) yang memiliki produksi susu yang tinggi. Kasus ini biasanya terjadi pada akhir masa kebuntingan berkisar 2 minggu sebelum kelahiran (2 minggu prepartus ) dan pada awal masa laktasi yaitu sekitar 8 minggu setelah kelahiran (8 minggu post partus). Selain sapi, kasus DA juga dapat terjadi pada jenis ruminansia lainya, walaupun kasus pada rumininasia lainnya jarang terjadi.

Abses pada sapi

Sapi perah Abses merupakan salah satu masalah yang cukup sering terjadi pada sapi perah. Kondisi abses banyak terjadi pada peternakan sapi perah yang memiliki tingkat sanitasi kandang yang rendah. Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang mati) yang berada dalam kavitas jaringan tubuh yang biasanya pada daerah kulit dan menimbulkan luka yang cukup serius karena infeksi dari bakteri pembusuk . Abses itu sendiri merupakan reaksi ketahanan dari jaringan untuk menghindari menyebar nya benda asing di tubuh. Pada abses terdapat nanah yang terlokalisasi dan dikelilingi oleh jaringan yang meradang . Gejala khas abses adalah peradangan, merah, hangat, bengkak, sakit, bila abses membesar biasanya diikuti gejala demam, selain itu bila ditekan terasa adanya terowongan (Boden 2005).