Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit zoonosa
yang dapat menyebabkan terjadinya radang otak
pada hewan dan manusia. Penyakit ini bersifat arbovirus karena ditularkan dari
hewan kemanusia melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini telah menyebar luas di
Asia bagian Timur seperti Jepang, Korea, Siberia, China, Taiwan, Thailand,
laos, Kamboja, Vietnam. Philipina, Malaysia, Indonesia, Myanmar, Banglades,
India, Srilangka, dan Nepal. Di Indonesia, kasus JE pertama kali dilaporkan
pada tahun 1960 (Erlanger 2010).
Kasus JE banyak di laporkan di daerah Bali. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Liu et al. 2009
menyebutkan bahwa identifikasi kasus encephalitis dirumah sakit di Bali antara
tahun 2001-2004 menemukan 163 kasus encephalitis dan 94 diantranya secara
serologis mengarah pada kasus JE. Selain itu, kasus JE pada manusia juga
dilaporkan di beberapa daerah yaitu di Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Yogyakarta, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggra Timur dan Papua
(Ompusunggu et al. 2008).
Sumber : http://www.path.org/vaccineresources/files/Indonesia_JEproject_factsheet_041307.pdf |
Beberapa laporan menyebutkan bahwa anak-anak hingga
remaja rentan terkena penyakit ini. Di Thailand, diduga 40 dari 100.000 anak
hingga remaja usia 5 – 25 tahun
menderita penyakit ini. Selain itu, dilaporkan juga bahwa kasus JE
banyak terjadi di daerah pedesaan. Secara epidemiologi kasus ini di daerah Vietnam utara, Thailand utara, Korea, Jepang, Taiwan, Cina,
Nepal, dan India utara banyak terjadi pada sat musim panas. Daerah Vietnam selatan, Thailand selatan, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Sri Lanka, dan India bagian selatan kasus JE terjadi sporadic
sepanjang tahun (Solomon et al.
2000).
Penyakit JE merupkan salah satu penyakit yang cukup
berbahaya. Japanese Encephalitis merupakan penyebab utama dari kejadian
encephalitis didunia. Diperkirakan dari 50.000 kasus 15.000 diantaranya berujung
pada kematian. Hal ini berarti sepertiga pasien yang menderita penyakit ini
meninggal. Sebagin besar pasien yang selamat juga biasanya mengalami gejala neuropshychiatric parah (Solomon et al. 2000). Tingkat fatality rate kasus ini dapat mencapai
60% , tergantung pada jumlah populasi dan usia penderita.
Sebagian besar infeksi pada
manusia tidak menunjukkan gejala atau mengakibatkan gejala yang non-spesifik
seperti penyakit flu. Penyakit ini biasanya ditandai dengan gejala demam, sakit
kepala, muntah, dan penurunan tingkat kesadaran. Pada anak-anak biasa juga muncul perilaku yang abnormal
karena adanya kerusakan saraf pada otak (Solomon et al. 2000). Pada hewan kondisi JE
jarang menimbulkan gejala klinis. Virus ini banyak menyerang babi walaupun
demikian belum menimbulkan kerugian yang luas (Sendow & Basri 2005).
Penyebab penyakit ini ialah virus Japanese Encephalitis dari family Flaviviridae. Virus Japanese Encephalitis ditularkan lewat perantara hewan
yaitu oleh nyamuk Culex. Penykit ini jug termasuk kedalam zoonosis karena dapat
menginfeksi manusia dan juga hewan. Pada hewan virus ini biasanya menyerang
babi dan burung liar.
Agen
Japanese Encephalitis virus termasuk dalam family
flaviviridae. Virus
ini memiliki amplop
(50 nm)
dengan lipoprotein kecil
mengelilingi nukleokapsid
yang terdiri dari protein
inti dan rantai
tunggal RNA.
Virus JE terkait dengan virus West Nile dan virus St Louis ensefalitis. Pada amplop bagian luar dibentuk oleh (E)
protein dan merupakan antigen protektif. Hal ini membantu dalam masuknya virus
ke dalam sel. Setidaknya terdapat lima genotipe virus Japanese
Encephalitis yang terjadi di
Asia. Strain Muar, pernah diisolasi dari
pasien di Malaysia pada tahun 1952, yang merupakan strain prototipe genotipe V.
Untuk Genotipe IV merupkan strain yang cukup tua dan diduga telah berevolusi di
wilayah Indonesia-Malaysia (Solomon et
al. 2000).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang biasa
ditunjukkan pada kasus Japanese Encephalitis biasanya berupa gejala yang non-spesifik seperti
demam, yang diikuti dengan sakit kepala,
muntah, dan penurunan tingkat kesadaran. Karena jaringan yang
menutupi otak dan sumsum tulang belakang menjadi terinfeksi dan bengkak,
penderita biasanya akan mengalami kekakuan pada leher dan merasa sangat
menyakitkan. Kemudian dalam dua atau tiga hari, penderita mulai mengalami efek
pembengkakan pada otak. Efek ini dapat berupa gangguan dengan keseimbangan dan
koordinasi, kelumpuhan pada beberapa kelompok otot, tremor, kejang, dan
gangguan dalam kesadaran (Solomon et al.
2000).
Penderita juga mengalami
dehidrasi dan kehilangan berat badan. Jika penderita dapat bertahan dengan
sakitnya, demam akan turun pada waktu sekitar hari ke 7, dan gejala akan mulai
meningkat lagi sekitar pada hari ke 14. Sementara itu ada juga penderita yang
akan terus mengalami demam sangat tinggi dan gejalanya terus bertambah buruk.
Dalam kasus ini, biasanya akan diikuti dengan gejala koma dan kemudian kematian
yang terjadi dalam 7-14 hari. Banyak juga di antar penderita yang telah sembuh
tetapi diikuti dengan cacat permanen akibat kerusakan otak (Solomon et al. 2000).
Pada anak-anak penyakit ini
juga dilaporkan dapat menyebabkan abnormalitas prilaku. Pada beberapa anak
gejala klinis yang muncul dapat
berupa kejang tunggal yang diikuti dengan pemulihan kesadaran yang cepat. Gejala-gejala kejang yang biasa terjadi ialah
menyebabkan gemetar pada digit atau mulut, deviasi mata, nystagmus, air liur
berlebih, atau respirasi tidak teratur (Solomon et al. 2000).
Penularan JE pada hewan biasanya terjadi pada babi. Babi merupakan
reservoir JE yang paling baik. Walaupun demikian gejala klinis penyakit ini
pada babi jarang ditemukan. Pada babi
dewasa antibodi dapat terdeteksi, walaupun gejala klinis berupa gangguan syaraf
umumnya tidak Nampak. Pada anak babi
gejala klinis kadang dapat terlihat. Apabila induk babi yang sedang
bunting terinfeksi virus JE, dapat mengakibatkan lahir mati, keguguran, dan
mumifikasi. Bayi babi lahir dalam keadaan lemah, kadang-kadang disertai dengan
gejala syaraf yang kemudian disertai dengan kematian . Sering juga terlihat
adanya kelainan pada bayi babi yang dilahirkan . Kelainan tersebut antara lain
berupa hidrosefalus, oedema subkutan dan kekerdilan pada babi yang mengalami mumifikasi
(Sendow & Bahri 2005).
Pada babi jantan yang terinfeksi JE, terlihat adanya pembendungan pada
testes, pengerasan pada epididimis, serta menurunnya libido. Virus dapat
diekskresikan melalui semen, sehingga mutu semen tersebut akan menurun karena
banyak sperma yang tidak aktif bergerak dan terdapat kelainan dari spermatozoa
tersebut, sehingga dapat mengakibatkan kemandulan. Pada ternak lain seperti
kambing, domba, sapi, kerbau ataupun unggas, gejala klinis infeksi JE sering
tidak tampak, walaupun antibodi terhadap JE dapat terdeteksi (Sendow &
Bahri 2005).
Patogenesa
Penyebaran
penyakit JE tidak dapat ditularkan melalui kontak langsung, tetapi harus
melalui vektor, yaitu melalui gigitan nyamuk yang telah mengandung virus JE.
Masa inkubasi pada nyamuk penular antara 9-12 hari dan nyamuk yang terinfeksi
virus JE, selama hidupnya akan menjadi infektif yang dapat menularkan ke hewan
dan manusia
Di daerah
tropis, virus JE senantiasa beredar di antara nyamuk, burung dan babi. Berbagai
jenis burung air merupakan resevoar utama atau inang pemelihara (maintenance host) di alam bagi virus JE.
Adapun babi merupakan inang amplifier (amplifier
host) yang dapat menunjukan gejala klinis terutama pada babi-babi bunting.
Infeksi pada manusia dan kuda dapat menyebabkan gejala encephalitis yang hebat
dan fatal, meskipun sebenarnya manusia dan kuda hanya sebagai inang insidental
(incidental host). Infeksi yang tidak
menampakkan gejala klinis juga terjadi pada sapi, domba, dan kambing, serta
hewan lain seperti anjing, kucing, rodensia, kelelawar, ular dan katak.
Mekanisme penularan virus JE
pada manusia terjadi karena nyamuk Cx.
tritaeniorhynchus yang seharusnya bersifat zoofilik populasinya menjadi
banyak sekali atau terjadi kenaikan yang mendadak dari populasi nyamuk dan sehingga
dengan terpaksa nyamuk inipun menggigit manusia yang ada di sekitarnya. Selain
itu, dapat juga terjadi karena jumlah babi yang menderita viraemia (mengandung
virus JE) menjadi banyak sehingga cadangan virus di alam meningkat dan mudah
ditularkan pada manusia. Umur vektor JE, nyamuk Culex, berkisar antara 14-21 hari dan
jarak terbang Culex dapat mencapai lebih dari 3 km. Culex umumnya berkembang
biak pada genangan air yang banyak ditumbuhi tanaman seperti sawah dan saluran
irigasinya, selokan yang dangkal atau kolam yang sudah tidak terpakai. Pada
babi, viraemia terjadi selama 2-4 hari dan diikuti dengan pembentukan antibodi
dalam waktu I hingga 4 minggu. Virus JE dapat menembus plasenta tergantung pada
umur kebuntingan dan galur virus JE . Kematian janin dan mumifikasi dapat
terjadi apabila infeksi JE berlangsung pada umur kebuntingan 40-60 hari .
Sedangkan infeksi JE sesudah umur kebuntingan 85 hari, kelainan yang
ditimbulkan sangat sedikit. Masa inkubasi JE pada manusia berkisar antara 4
hingga 14 hari (Sendow & Bahri 2005).
Studi pada
nyamuk Cx. tritaeniorhynchus menyimpulkan bahwa perbanyakan virus JE terutama
terjadi pada sel-sel epitel usus tengah bagian posterior, sel-sel lemak
jaringan lainnya merupakan penunjang sehingga sel-sel kelenjar ludah menjadi
terinfeksi virus secara berat dan permanent. Virus juga berkembang biak dalam
sel-sel ovaria nyamuk ini. Secara eksperimental terbukti bahwa virus JE dapat
ditularkan secara transovarial pada nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes togoi.
Fluktuasi musiman dari populasi nyamuk baik yang pradewasa maupun yang dewasa
erat kaitannya dengan fluktuasi epidemi JE. Oleh karena itu penguasaan bionomik
suatu vektor merupakan kunci penting dalam mempelajari epidemiologi penyakit
yang ditularkan vektor dan membuat perencanaan pengendaliannya.
Di daerah
tropis yang virus denguenya endemis, penyakit yang disebabkan oleh arbovirosis
grup B yang lain, tidak banyak terdapat, tetapi di daerah beriklim sedang
penyakit yang disebabkan oleh arbovirosis grup B selain dengue, lebih banyak
terdapat. Ada kecenderungan pula bahwa daerah tropis yang kadar antibodinya
terhadap dengue rendah, kadar antibodi terhadap JE tinggi, demikian sebaliknya.
Virus JE juga akan kurang berpengaruh terhadap orang yang pernah mendapat
infeksi virus dengue.
Kondisi Japanese Encephalitis di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan dan negara agraris, dimana sebagian
besar mata pencaharian penduduknya dari bertani, seperti menanam padi di sawah
yang merupakan habitat yang paling balk bagi perkembangbiakan nyamuk termasuk
vektor JE. Sebagai negara tropis dan negara agraris, Indonesia memiliki
hamparan sawah yang luas dengan populasi yang padat, yang apabila disertai
dengan banyaknya populasi babi di sekitarnya, maka akan sangat beresiko
munculnya wabah (meningkatnya kejadian) JE pada manusia. Migrasi nyamuk dari
satu pulau ke pulau lain sering terjadi, bahkan migrasi nyamuk dari satu Negara
ke Indonesia atau sebaliknya dapat terjadi. Beberapa factor
penentu terjadinya kejadian penyakit JE di Indonesia ialah faktor usia,
aktifitas sehari-hari dan faktor lingkungan. Usia yang lebih tua biasanya
remaja lebih sering terkena penyakit ini. Umumnya kondisi ini dikaitkan dengan
interaksi dengan vektor yang lebih sering
(Liu et al. 2010)
Penyakit JE pada hewan di Indonesia, sampai saat ini belum menimbulkan
masalah yang besar. Hal ini disebabkan karena gejala klinis yang ditimbulkan
pada ternak tidak menunjukkan ciri-ciri yang khas sehingga tidak dapat
terdiagnosa, oleh karena itu penelitian JE pada hewan kurang mendapat
perhatian. Laporan kasus klinis pada
hewan belum pernah dilaporkan, namun hasil pemeriksaan serologis menunjukkan
adanya JE pada hewan di Indonesia. Beberapa laporan menyebutkan bahwa hasil
pemeriksaan serologis ditemukan adanya
antibodi terhadap virus JE yang ditemukan pada babi dari beberapa daerah di
Indonesia. Selain pada babi, antibodi terhadap virus JE juga dapat ditemukan
pada kuda dan kelelawar.
Pada tahun 1998, Balai Penelitian Veteriner Bogor, melakukan uji ELISA
untuk mendeteksi antibodi JE pada beberapa spesies hewan seperti sapi, kerbau,
kambing, itik, ayam, kuda, babi dan anjing dari beberapa daerah di Indonesia.
Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa reaktor JE dapat ditemukan pada semua
spesies hewan yang diperiksa dengan prevalensi bervariasi mulai 11% hingga 51%.
Prevalensi tertinggi ditemukan pada sapi, diikuti pada itik, ayam, kambing,
kuda, anjing dan babi.
Meskipun JE kurang berdampak pada kesehatan hewan. Namun pada penyakit JE
berdampak terhadap kesehatan manusia. Di
Indonesia Kasus JE pertama kali di laporkan secara serologi terjadi di manusia
yaitu pada tahun 1999 di daerah Bali. Pemeriksaan
spesimen serum dari 12 pasien dengan diagnosis klinis ensefalitis virus,
meningitis atau demam berdarah dengue (DBD) menemukan dua diantaranya positif
terinfeksi Japanese
Encephalitis (Yoshida et al. 1999).
Beberapa laporan menyebutkan bahwa identifikasi
kasus encephalitis dirumah sakit di Bali antara tahun 2001-2004 menemukan 163
kasus encephalitis dan 94 diantaranya secara serologis mengarah pada kasus JE
(Liu et al. 2010). Hal ini
menunjukkan bahwa bali merupakan salah satu daerah yang menjadi tempat endemic
penyakit ini. Sebuah studi lainya yang lebih mendalam membahas tentang kondisi
JE di Bali menyebutkan bahwa virus JE di Bali ditransmisikan
sepanjang tahun dengan 70% dari
kasus di musim hujan (Kari et al. 2006).
Sebuah laporan terbaru bahkan melaporkan terdapat kasus infeksi virus JE
pada turis yang berlibur di Bali. Turis tersebut melakukan
perjalanan 3 minggu ke Jawa dan Bali, termasuk berlibur kedaerah
pedesaan ke pedesaan. Minggu terakhir bulan Maret dihabiskan Bali. Setelah
pulang ke rumah, pasien mengeluh kelelahan dan 5 hari
kemudian ia jatuh sakit dengan mati rasa di kedua clengan, dan tidak bisa
menggunakan pisau dan garpu saat makan. Dia juga muntah dan jatuh ke lantai
beberapa kali, tidak dapat berdiri dengan sendiri. Saat masuk ke rumah sakit
pada malam yang sama, pasien itu demam (39.18 0C), tetapi dalam kondisi baik secara
umum. Keesokan harinya ia menjadi bingung dan tidak mengerti pertanyaan sederhana
atau
instruksi. Hasil pemeriksaan menunjukkan
terjadinya kondisi encephalitis yang mengarah pada kondisi JE (Stlund
et al. 2001)
Kasus infeksi virus JE juga terjadi dibeberapa dareah lainya. Laporan
pemeriksaan JE dibeberapa daerah seperti Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggra Timur dan Papua. Semuanya menunjukkan
hasil positif pada pemeriksaan secara serologis penyakit JE dengan presentase
yang beragam dari 2% hingga 18%. Kasus pada penelitian ini 95% terjadi pada
anak diatas 10 tahun dan 47% dari hasil terebut berujung pada kematian atau
cacat (Ompusunggu et al. 2008).
Setengah dari hasil serologis telah melaporkan bahwa antibodi terhadap JE telah
terdeteksi pada 9 dari 96 orang di Timika, Papua. Lima di antaranya penduduk asli yang tidak
pernah bepergian ke daerah yang diketahui merupakan daerah endemik JE.
Tindakan pencegahan dan pengobatan
Tindakan vaksinasi
merupakan salah satu langkah efektif dalam mencegah penyakit ini.
Umumnya vaksin diberikan kepada anak- anak sampai remaja usis di bawah 17 tahun
di daerah-daerah endemik JE. Bagi para wisatawan atau pelancong yang akan
mengunjungi daerah endemis JE dapat juga memanfaatkan vaksin ini sebagai
langkah pencegahan. Langkah pencegahan lain adalah dengan upaya pengendalian
populasi nyamuk (Sendow & Bahri 2005).
Sejauh ini karena JE merupakan penyakit virus, maka
tidak ada pengobatan untuk menghentikan atau memperlambat perkembangan virus
ini. Pengobatan hanya dapat dilakukan dengan cara simptomatis yaitu mengilangkan
gejala- gejala yang terlihat setiap penderita. Cairan bisa diberikan untuk
mengurangi dehidrasi dan obat-obatan diberikan untuk mengurangi demam dan rasa
sakit. Dapat juga diberikan obat-obatan yang dapat mengurangi pembengkakan
otak. Penderita yang dalam keadaan koma mungkin diberikan bantuan-bantuan yang
sifatnya mekanik dengan bantuan pernapasan.
KESIMPULAN
Japanese
Encephalitis merupakan salah satu penyakit Arbovirus zoonosis yang cukup
berbahaya. Penyakit ini dapat menyerang hewan (babi dan burung) dan manusia.
Infeksi virus JE terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Laporan kasus JE
terbanyak pada manusia di laporkan di wilayah Bali. Perlu adanya tindakan
pencegahn yang tepat untuk menghindari penyebaran penyakit ini lebih lanjut.
DAFTAR
PUSTAKA
Erlanger TE, Weiss
S, Keiser J, et al. 2009. Past,
Present, and Future of Japanese Encephalitis. Emerging Infectious
Diseases 15(1): 1-7
Kari K, Liu W, Gautama K, et al. 2006. A hospital-based surveillance for Japanese encephalitis in Bali,
Indonesia. BMC Medicine 4(8): 1-7.
Liu
W, Gibbons RV, Kari
K, et al.
2010. Risk factors for Japanese encephalitis: a
case-control study. Epidemiol Infect 138(9):1292-1297.
Ompusunggu S, Hills SL, Maha MS, et al . 2008. Confirmation of Japanese Eneephalitis as an
Endémie Human Disease Through Sentinel Surveillance in Indonesia. Atn
J Trop Med Hyg 79(6):963-970.
Sendow I, Bahri S. 2005. Perkembangan
Japanese Encephalitis di Indonesia. Wartazoa
15(3): 111-118.
Solomon T, Dung NM, Kneen R, et al. 2000. Japanese encephalitis. J
Neurol Neurosurg Psychiatry 68:405–415
Stlund MRO, Kan B, Karlsson M, et al. 2001. Japanese Encephalitis in a Swedish Tourist after
Travelling to Java and Bali. Scand J
Infect Dis 36: 512-513
Yoshida M, Igarashi A, Suwendra P, et al. 1999. The first
report on human cases serologically diagnosed as Japanese encephalitis in
Indonesia. Southeast Asian J Trop Med
Public Health 30 (4): 698-706
thanks buat infonya gan,, sangat bermanfaat sekali..
BalasHapusWaa selain dbd , ini juga sama bahayanya
BalasHapusIni lebih berbahaya dari DBD
BalasHapus