Canine
Distemper merupakan salah satu penyakit
penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi. Tingkat
kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah
rabies (Deem et al. 2000). Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi
Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala
klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat
infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus
distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem
pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit. Infeksi canine distemper virus menyebabkan
adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease (Koutinas et al. 2004).
Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi)
Canine
distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini
tersebar diseluruh belahan dunia. Di indonesia berdasarkan laporan dari Sudarisman (2007) menyebutkan bahwa prevalensi
penyakit distemper pada anjing di Jawa
Barat mencapai 18,8 – 29,5 %, sedangkan di DKI jakarta tingkat prevalensinya
mencapai 30%. Di kota Denpasar prevalensi penyakit distemper pada tahun 2007
mencapai 4,48 % (Erawan et al. 2009). Virus distemper dapat
menyerang beberapa famili hewan seperti Canidae, Felidae,
Hyaenidae, Mustelidae, Procyonidae, Ursidae, and Viverridae (Deem et al. 2000).
Menurut Headley
dan Graca (2000) menyatakan bahwa sebagian besar kasus canine distemper terjadi
pada musim dingin. Selain itu, kasus infeksi virus distemper juga dipengaruhi
oleh umur serta ras. Kejadian distemper sering terjadi pada anjing yang
masih muda dan belum divaksinasi (Erawan et
al. 2009). Anjing dengan bentuk kepala yang panjang
seperti German Sheperd, Fox, Siberian
Husky dan Doberman memiliki lebih
peka terkena distemper dibandingkan dengan anjing yang memiliki bentuk kepala
yang pendek (Headley dan Graca 2000).
Virus distemper dapat di tularkan melalui udara (aerosol),
atau melalui benda-benda yang terinfeksi oleh virus distemper. Tingkat
kematian akibat distemper dapat mencapai 50% (Beineke et al. 2009). Pada
ferrets domestik
(Mustela putorius furo)
tingkat mortalitasdan morbiditasnya mendekati 100%, sedangkan pada anjing domestik dapat mencapai 50-70%. Pada anjing yang terinfeksi juga dpat menjadi asimtomatik carriers
(Deem et al. 2000).
Penanganan canine distemper saat ini masih
banyak dilakukan dengan tindakan pencegahn yaitu dengan vaksinasi. Umumnya pada
hewan yang terkena distemper akan di berikan obat-obatan untuk mencegah adanya
infeksi sekunder.
Identifikasi
canine distemper virus dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain dengan
adanya pemeriksaan umum pada gejala klinis atau dengan melakukan pemeriksaan
serologis. Selain itu, pada hewan yang sudah mati dapat dilakukan pemeriksaan
patologi anatomi dan histopatologi.
Sifat Agen
Canine distemper virus termasuk dalam genus
morbilivirus dari famili paramyxoviridae yang memiliki hubungan erat dengan
virus campak pada primata, peste des petits ruminants pada ruminansia kecil,
dan rinderpest pada hewan ungalata. Canine distemper virus peka terhadap sinar ultraviolet, pemanasan dan
kekeringan. Virus distemper akan rusak pada suhu 50-60oC selama 30
menit. Ukuran virus distemper cukup besar berkisar antar 150-250 nm, merupakan
virus single-stranded
RNA yang diselubungi oleh lipoprotein (Deem et
al. 2000).
Rantai
canine distemper virus terdiri dari enam
struktural protein, nukleokapsid
(N), phospho-(P), (L) besar, matriks-(M), hemagglutinin (H), dan
Protein fusi (F). Sekitar
selubung lipid sekitar virion terdapat dua glikoprotein permukaan yaitu F dan H
yang menjadi reseptor untu ikatan virus dan sel inang. Virus juga memiliki protein M yang berfungsi
menghubungkan glikoprotein permukaan dan nukleokapsid selama pematangan virus (Beineke et
al. 2009).
Pada
kasus distemper yang menyebabkan adanya ensefalopati pada otak biasanya
ditemukan adanya badan inklusi khas dari
canine distemper virus. Badan inklusi oleh canine distemper virus terutama
terdapat dalam astrosit. Karakteristik badan inklusi eosinofilik pada kasus
distemper juga dapat diamati pada sel epitel vesika urinaria, paru-paru,
abdomen, ginjal, dan tonsil (Headley dan Graca 2000).
Inang Rentan dan Strain Virus
Canine
distemper dilaporkan dapat terjadi pada semua jenis karnivora. Infeksi canine
distemper pada hewan pernah dilaporkan pada hewan dari famili anidae, Felidae,
Hyaenidae, Mustelidae, Procyonidae, Ursidae, dan Viverridae. Infeksi canine distemper virus
secara experimental juga pernah dilaporkan pada primata. Secara alami infeksi
canine distemper juga dilaporkan pada Japanese macaque (Macaca fuscata) dan collared
peccaries (Tayassu tajacu), yang menyebabkan adanya kejadian enchepalitis. Di
Amerika Serikat infeksi canine infeksi virus dilaporkan dapat ditularkan
melalui hewan liar seperti rakun (Procyon
lotor) (Deem et al. 2000). Infeksi canine distemper di laporkan pernah
menyebabkan outbreak kematian pada Baikal dan Caspian seals serta kucing besar
di Srengeti Park (Beineke
et al. 2009).
Beberapa
penelitian terbaru mengungkapkan bahwa terdapat beberapa cluster dari canine
distemper virus. Isolat canine distemper virus pada anjing yang diidentifikasi
dijepang berbeda dengan canine distemper virus yang di identifikasi didaerah
Eropa dan Amerika. Perbedaan ini didasarkan pada adanya perbedaan pada urutan
protein H (Iwatsuki et
al. 1997).
Patogenesis Canine Distemper
Secara
eksperimen dan alami tingkat keparahan infeksi distemper virus cukup beragam
mulai dari 1 sampai 4 minggu tergantung dari strain virus, umur hewan dan
tingkat kekebalan terhadap canine distemper virus yang dimiliki. Infeksi virus
distemper umumnya terjadi melalui saluran pernafasan oronasal. Virus distemper masuk
dalam tubuh melalui aerosol berupa droplet yang masuk kedalam saluran
pernafasan. Dari udara, canine distemper virus kemudian akan berkontak dengan
bagian epitel pada sistem respirasi bagian atas. Dari cavum nasi, faring dan
paru-paru, magrofag akan membawa virus ke limponodus lokal. Canine distemper
virus paling pertama akan bereplikasi dalam magrofag dan monosit kemudian
menyebar ke sel-sel limfatik lokal yaitu tonsil dan limfonodus peribronkhial (Beineke et al. 2009).
Selanjutnya jumlah virus akan meningkat secara
signifikan karena adanya replikasi virus. Virus ini kemudian disebarkan
keseluruh tubuh melalui peredaran darah (terjadinya viremia). Virus bermultipikasi
didalam folikel limfoid limpa, lamina propria lambung dan usus halus,
limfonodus mesenterika dan sel kuppfer hati. Akibatnya secara klinis terjadi
peningkatan suhu tubuh dan leukopenia. Leukopenis disebbakan oleh adanya
infeksi virus pada oragan-oragan limforetikular
sehingga menyebabkan adanya kerusakan pada sel T dan sel B. Penyebaran
virus oleh darah biasanya terjadi pada hari ke 8 – 9 setelah terinfeksi.
(Deem et al. 2000).
Pada hari ke 9 – 14, umumnya hewan yang memiliki
kekebalan yang tinggi akan melakukan
proses penyembuhan dengan sendirinya melalui proses sitotoksik. Pada hewan yang
memiliki titer antibodi dan sitotoksin yang dihasilkan oleh perantara yang
tinggi akan mengeliminasi virus pada jaringan sehingga secara umum hewan tidak
akan menunjukkan gejala sakit (Deem et al. 2000).
Pada hewan yang memiliki sistem imum yang rendah,
canine distemper virus akan berkembang didalam beberapa jaringan. Akibatnya
virus dapat tumbuh dan berada dalam tubuh dalam waktu yang lebih lamaterutama
dijaringan uvea, saraf dan integumen misalnya telapak kakai. Keberadaan canine
distemper virus pada jaringan saraf
dapat menyebabkan adanya gangguan saraf sedangkan adanya canine distemper virus
pada kulit ditelaapk kakai dapat menyebabkan adanya hiperkeratosis dan
menyebabkan hard pad disease (Deem et al. 2000).
Gejala
Klinis
Gejala
klinis yang diperlihatkan oleh infeksi distemper cukup beragam. Umumnya
penyakit distemper akan menimbulkan gejala pernafasan, gejala saraf dan gejala
gastrointestinal. Infeksi pada sistem respirasi dapat menunjukkan gejala
seperti influenza. Selain itu terjadi anoreksia, kelemahan dan discharge dari
mata dan hidung. Simtom lainya yang muncul ialah adannya konjungtivitis. Hewan juga
mengalami demam. Apabila berlanjut maka kulit akan mengalami eritrema dan
pustule terutama di abdomen, daerah inguinal dahi dan moncong. Terdapat juga
penebalan pada telapak kaki. Infeksi pada saluran pencernaan menyebabkan hewan
mengalami diare yang dapat berupa mukus atau darah. Kehilangan cairan pada
kondisi diare dapat menyebabkan adanya dehidrasi yang dapat memicu terjadinya
shock hipovolemik. Hasil penelitian dari Erawan et al. (2009) menyebutkan bahwa gejala klinis
yang ditemukan pada semua kasus distemper anjing adalah batuk, diare, pustula
pada kulit abdomen, dan gejala saraf berupa depresi, tremor otot atau ataksia.
Sedangkan gejala lain yang ditemukan adalah demam (69,5%), leleran mata
(52,4%), leleran hidung (51,4%), muntah (38,1%), dan hiperkeratosis pada
telapak kaki hanya ditemukan pada 4,8% kasus. Pada pemeriksaan distemper yang
dilakukan di kota Denpasar gejala klinis yang digunakan sebagai acuan diagnosis
penyakit distemper oleh dokter hewan praktek adalah nafsu makan menurun, demam,
leleran mukopurulen pada mata dan hidung, batuk, muntah, diare, pustula pada
kulit abdomen, dan gejala saraf (Erawan et
al. 2009)
Infeksi
virus pada sistem saraf dapat menyebabkan adanya konvulsi, seizure, ataksia,
paraparesis, tetraparesis, koma dan kematian. Hewan yang terlihat kejang-kejang menandakan bahwa
infeksi telah menyebar sampai otak dan menyebabkan kerusakan saraf . Kerusakan
yang terjadi pada neuron dan astrosit oleh virus distemper menyebar secara
perlahan namun infeksi ini menyebabkan kematial sel secara besar-besaran
termasuk pada sel neuron yang tidak terinfeksi. Kondisi infeksi
distemper dapat ditandai dengan adanya limfopenia, trombositopenia, anemia
regeneratif, penurunan albumin, dan meningkatkan konsentrasi α- dan γ –globulin
(Deem
et al. 2000). Infeksi canine distemper virus harus
dibedakan dari beberapa penyakit lainya seperti rabies, panleukopenia kucing, toksoplasmosis,
parvovirus anjing, keracunan timbal, dan enteritides bakteri.
Pencegahan dan
Pengobatan Canine Distemper
Penanganan
terbaik dalam mengatasi kasus distemper ialah dengan tindakan pencegahan.
Umumnya tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah adanya infeksi
canine distemper virus ialah dengan vaksinasi (Deem et al. 2000). Beragam variasan vaksin
distemper yang tersedia dilapangan saat ini. Umumnya vaksin ini akan
dikombinasikan dengan jenis vaksin lainya. Vaksinasi distemper pertama kali
dilakukan pada anjing yang berumur tiga bulan.
Obat
antivirus tertentu
yang berpengaruh
pada Canine distemper virus pada anjing
tidak tersedia.
Pengobatan
Canine distemper tidak spesifik.
Terapi antibiotik
diindikasikan
karena umumnya terjadi infeksi sekunder
bakteri pada
organ pernapasan
dan saluran
pencernaan
(Appel dan Summers 1999). Penggunaan antibiotik
berspektrum luas perlu dipikirkan mengingat bahwa selain dapat menyebabkan
adanya infeksi sekunder disaluran pernafasan penyakit distemper juga dapat
menyebabkan adanya infeksi sekunder di saluran pencernaan. Penggunaan
antibiotik golongan penisilin seperti amoksisilin dapat dilakukan karena
memiliki spektrum yang cukup luas. Dalam penggunaan antibiotik juga perlu
dipikirkan adanya efek resitensinya terhadap bakteri.
Selain
pemberian antibiotik, treatman lainya yang biasa dilakukan pada anjing yang terkena
distemper ialah terapi cairan dan elektrolit. Umunya anjing
yang terinfeksi distemper mengalami gejala
diare dan
dehidrasi, sehingga penting
melakukan terapi cairan dan elektrolit.
Pengobatan anjing
dengan tanda-tanda neurologis tidak bermanfaat. Sedatif dan antikonvulsan dapat
memperbaiki tanda-tanda klinis, tetapi mereka tidak memiliki efek kuratif
(Appel dan Summers 1999).
Daftar
Pustaka
Appel MJG, Summers BA. 1999. Canine
Distemper: Current Status (Last Updated: 23-Nov-1999). [Di
akses pada 23 Juli 2012]. www.ivis.org.
Document No. A0103.1199
Beineke
A, Puff C, Seehusen F, Baumgrtner W. 2009. Pathogenesis and
immunopathology of systemic and nervous canine Distemper. Veterinary Immunology and Immunopathology 127 : 1–18.
Chvala
S, Benetka V, Möstl K, Zeugswetter F, Spergser J, Weissenböck H. 2007.
Simultaneous Canine Distemper Virus, Canine Adenovirus Type 2, and Mycoplasma
Cynos Infection in a Dog with Pneumonia. Veterinary
Pathology 44:508–512
Deem SL, Spelman LH, Yates RA, Montali RJ.
2000. Canine Distemper In Teresterial Carnivores: A Review. Journal
of Zoo and Wildlife Medicine 31(4): 441–451.
Engelhardt P, Wyder M, Zurbriggen A, Gro¨ne A. 2005. Canine distemper virus associated
proliferation of canine footpad keratinocytes in vitro. Veterinary Microbiology 107 : 1–12.
Erawan
IGMK, Suartha IN, Batan IW, Budiari ES, Mustikawati D. 2009. Analisis Faktor Risiko Penyakit Distemper
pada Anjing di Denpasar. Jurnal veteriner
10(3)
Headley SA,
Graca DL. 2000. Canine distemper: epidemiological finding of 250 cases. Brazilian Journal of Veterinary Research and
Animal Science 37
Iwatsuki
K, Miyashita N,1 Yoshida E, Gemma T, Shin Y, Mori T, Hirayama N, Kai C, Mikami T. 1997. Molecular and phylogenetic analyses of the
haemagglutinin (H) proteins of
field isolates of canine distemper virus from naturally infected dogs. Journal of General Virology 78:
373–380.
Koutinas
AF, Baumgärtner W, Tontis D, Polizopoulou Z, Saridomichelakis MN, Lekkas S. 2004. Histopathology and Immunohistochemistry of Canine Distemper Virus-induced
Footpad Hyperkeratosis (Hard Pad Disease) in Dogs with Natural
Canine Distemper. Veterinery Pathology
41: 2-9
Sudarisman. 2007. Seroepidemiologi Penyakit
Distemper pada Anjing di Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Rijks
JM, Read FL, Van de Bildt MWG, Van Bolhuis HG, Martina BEE, Wagenaar JA, Van
der Meulen K, Osterhaus ADME and KuikenT. 2008. Quantitative Analysis of the 2002 Phocine Distemper Epidemic in The
Netherlands. Veterinery Pathology 45:
516.
Yarim GF, Karahan S, Yarim M. 2007. Cerebellum progesterone concentration
decreased in canine distemper virus infection. Research in Veterinary Science 82 : 173–180
Tolong anjing saya kemungkinan terkena vrus distemper, gejalanya terlihat karena sering kejang-kejang dan sanat susah untuk berjalan, kalau berjalan sangat loyo dan kelihatan akan jatuh... saya berdomisili di kota terpencil, sangat susah dan tidak ada dokter hewan, tolong berikan solusi obat atau antibiotik apa yg bisa saya berikan kepada anjng saya.
BalasHapus