Langsung ke konten utama

Penyakit Ngorok (Septicaemia Epizootica)


Septicaemia Epizootica (SE) atau penyakit ngorok adalah satu satu penyakit hewan menular strategis pada ruminansia besar yang ada di Indonesia. Di dunia penyakit ini banyak menyebar didaerah Asia yang memiliki curah hujan yang tinggi seperti Indonesia, Philippina, Thailand dan Malaysia. Di Amerika kasus SE pernah dilaporkan terjadi pada tiga kawanan Bison. Penyakit ini juga dilaporkan disejumlah negara Afrika seperti di negara-negara timur tengah serta negara  Afrika Tengah dan Afrika Selatan (OIE 2009).  Di Indonesia Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1884, didaerah Balaraja Tangerang (Direktorat Kesehatan Hewan 1977). Penyakit SE dilaporkan terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia seperti  Bengkulu, Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Nusa Tenggara Timur (Natalia & Priadi 2006).  

Tingkat Mortalitas dan  Case fatality rate cukup tinggi apabila tidak ditangani dengan baik. Tingkat mortality dan case fatality rate dapat mencapai 100%.  Morbiditas dari kasus ini sangat tergantung dari kondisi imunitas hewan serta kondisi lingkungan. Morbiditasnya akan semakin tinggi bila  hewan memiliki kondisi imunitas yang rendah serta berada pada suatu lingkungan yang basah (OIE 2009). Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit SE cukup besar karena penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada hewan ternak. Tingkat kematian sapi dan kerbau di daerah Asia akibat penyakit SE mencapai 100.000 ekor pertahun (Natalia & Priadi 2006).  


Dilaporkan bahwa pada tahun 1997 tingkat kerugian yang diakibatkan oleh penyakit SE mencapai 27,9 miliar rupiah karena menyebabkan kematian pada sapi dan kerbau hingga 9288 ekor (Direktorat Bina Kesehatan Hewan 1998). Selain mengakibatkan kerugian akibat kematian, hewan yang terkena Septicaemia Epizootica (SE) sangat dimungkinkan dapat mengalami penurunan berat badan, sehingga akan memperbesar potensi kerugian yang ada. 
Umumnya penyakit Septicaemia Epizootica (SE)  disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe B:2 dan E:2. Kedua jenis serotipe ini tidak pernah dilaporkan menginfeksi manusia. Walaupun demikian menurut laporan OIE serotipe Pasteurella multocida lainya masih memungkinkan untuk menginfeksi manusia (OIE 2009). Umumnya penyakit ini lebih banyak menyebabkan kematian pada hewan ternak.  


Agen Penyebab Penyakit
Septicaemia Epizootica (SE) disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif Pasteurella    multocida dengan serotipe tertentu. Umumnya serotipe disetiap tempat memiliki perbedaan.  Didaerah Asia umumnya ditemukan Pasteurella    multocida serotipe B:2 sedangkan untuk daerah Afrika biasanya ditemukan serotipe E:2. Penelitian terbaru juga menyatakan bahwa terdapat serotipe tipe baru yang muncul yaitu serotipe B:6 dan E:6. Serotipe lainya dari Pasteurella    multocida yang dihubungkan dengan Septicaemia Epizootica ialah serotipe A: 1 dan A: 3, serotipe ini dihubungkan dengan kematian dari sapi dan kerbau di india (OIE 2009). 

Bakteri  Pasteurella   pertama kali ditemukan oleh pasteur pada tahun 1880 pada ayam yang menderita kolera. Kemudian pada tahun 1939 Rosenbusch dan Merchant membedakan secara tegas bakteri Pasteurella yang dapat menyebabkan hemolise dan yang tidak. Pembagianya berupa Pasteurella  hemoliytica yang dapat menyebabkan hemolise dan Pasteurella multocida yang tidak menyebabkan hemolisa. 

Bakteri Pasteurella multocida berbentuk coccobacillus, mempunyai ukuran yang sangat halus, dan bersifat bipolar. Sifat bipolar ini lebih jelas terlihat pada bakteri yang baru di isolasi dari penderita dan diwarnai misalnya dengan cara Giemsa wright atau dengan karbol fuchsin. Bakteri yang bersifat negatif ini tidak membentuk spora, bersifat non motil dan berselubung (Direktorat Kesehatan Hewan 1977). Bakteri Pasteurella   rentan terhadap suhu panas rendah (550C). Selain itu bakteri ini juga sangat rentan terhadap disinfektan (OIE 2009) .

Patogenesa
Seperti yang telah dijelaskan bahwa bakteri pasteurella multocida sebagai penyebab SE akan masuk kedalam tubuh inang melalui beberapa cara. Cairan seperti leleran hidung atau cairan mulut dari hewan yang terinfeksi akan jatuh ketanah atau terkena media lain. Bakteri yang ada dalam cairan tersebut akan menginfeksi daerah atau media yang terkena oleh cairan dari hewan terinfeksi tersebut. Bila kondisi tanah dalam keadaan basah maka akan menyebabkan perkembangan dan daya tahan bakteri pasteurella multocida semakin baik. Melalui kontak dengan hewan terinfeksi atau kontak dengan tanah, tanaman, atau media yang terinfeksi, bakteri pasteurella multocida kemudian masuk kedalam tubuh. Didalam tubuh inang bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan (Natalia & Priadi 2006).  

Terdapat tiga bentuk dari penyakit SE yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal. Penyakit SE bentuk busung menunjukkan adanya bentuk busung pada bagian kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelembir dan kadang-kadang pada kaki muka. Selain itu kadang terjadi juga bentuk busung pada bagian dubur dan alat kelamin. Tingkat mortalitas penyakit pada bentuk ini cukup tinggi mencapai 90% dan berlangsung cepat sekitar tiga hari sampai satu minggu. Sebelum mati akan tampak gangguan pernafasan dan suara ngorok merintih serta suara gigi gemeretak.  Pada bentuk pectoral, tanda-tanda bronkhopneumonia akan lebih menonjol. Bentuk ini umumnya dimulai dengan adanya batuk kering dan nyeri yang di ikuti oleh keluarnya eksudat dari hidung. Biasanya bentuk ini berlangsung antara satu sampai tiga minggu. Pada beberapa kasus kadang penyakit ini dapat mencapai bentuk intestina. Keadaan ini dicapai ketika penyakit sudah berjalan kronis. Hewan akan menjadi kurus, dengan gejala batuk yang terus menerus, selain itu nafsu makan terganggu serta terus menerus mengeluarkan air mata. Sering terjadi mencret yang bercampur darah (Direktorat Kesehatan Hewan 1977) 

Umunya kasus SE bersifat aku dan dapat menyebabkan kematian hewan dalam waktu singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh, oedemasubmandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan dengan suara ngorok atau keluarnya eksudat dari hidung. Umumnya, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Biasanya kerbau lebih peka terhadap penyakit SE dibandingkan dengan sapi. Lama atau jalanya penyakit  sampai pada kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2 – 5 hari. Gejala penyakit timbul setelah masa inkubasi 2 – 5 hari. Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan suhu tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu kondisi hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam banyak kasus merupakan tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak selamanya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit (Natalia & Priadi 2006). 

Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, ditemukan kenaikan suhu hingga 430C dapat teramati 4 jam sesudah infeksi, sedangkan pada sapi kenaikan hingga 400C baru teramati 12 Leleran hidung dan mata yang memerah sudah terlihat pada kerbau 4 jam sesudah infeksi, sedangkan pada sapi 12 jam sesudah infeksi. Bakteri dapat diisolasi dari cairan hidung kerbau 12 sesudah infeksi dan 16 sesudah infeksi pada sapi. Dalam darah bakteriemia sudah terjadi 12 jam sesudah infeksi pada kerbau dan sapi. Pemantauan jumlah kuman dalam darah terlihat terus meningkat hingga saat kematian (Natalia & Priadi 2006).

Inang Rentan  
Host atau inang utama dari penyakit SE ialah pada sapi dan kerbau. Walaupun demikian ada beberapa laporan yang menyebutkan kejadian SE terjadi pada kambing, domba dan babi. Hewan-hewan seperti rusa, unta, gajah, kuda, keledai dan yaks juga kadang terinfeksi penyakit ini (OIE 2009). Sumber lainya menyebutkan bahwa hewan-hewan yang pernah dilaporkan terkena gejala Septicaemia Epizootica (SE) ialah Kelinci, Tikus, Marmot, dan Burung dara. Pada skala laboratorium kelinci dan tikus merupakan hewan yang sangat rentan terinfeksi bakteri pasteurella multocida. Didaerah Amerika Utara dilaporkan bahwa Bison merupakan salah satu hewan yang dapat terinfeksi pasteurella multocid (OIE 2009).  


Pengendalian 
Meskipun secara teoritis ternak sapi yang sakit SE dapat diobati dengan antibiotika dan serum hiperimun (kebal), namun umumnya pengobatan tidak efektif dan terlalu mahal. Oleh sebab itu, usaha pengendaliannya dilakukan dengan vaksinasi (OIE 2009). Beberapa program vaksinasi yang telah di laporkan berhasil menanggulangi kejadian SE yaitu pada pulau Lombok. Pulau Lombok dengan pola coverage vaksinasi 100% selama 3 tahun berturut, dapat dibebaskan dari SE pada tahun 1985. Namun di wilayah NTT  tingkat vaksinasi belum menunjukkan hasil yang signifikan karena disebabkan tingkat coverage vaksinasi baru mencapai 16 – 22% (Dinas Peternakan Propinsi NTT 1995).



DAFTAR PUSTAKA

Dinas Peternakan NTT. 1995. Situasi Penyakit SE di Nusa Tenggara Timur. Rapat koordinasi Pemberantasan Penyakit SE dan Evaluasi ACIAR Project di Werdha Pura Sanur, Denpasar, Bali. 28 – 29 Agustus 1995.

Direktorat Bina Kesehatan Hewan. 1998. Septicaemia Epizootica. Bulletin Kesehatan Hewan. 3: 74

Direktorat Kesehatan Hewan. 1977. Septicaemia Epizootica (SE). Dalam Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Lokakarya Penyusunan Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Cisarua, Bogor. Tahun 1976. Hal  37-48.

Natalia L, Priadi A. 2006. Penyakit Septicaemia Epizootica: Penelitian dan Usaha Pengendalianya pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Dalam:  Puslitbang Peternakan . Prosiding Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 12 juli 2006. Hal 53-67.

Putra AAG. 2006. Situasi Penyakit Hewan Menular Strategis pada Ruminansia Besar: Surveilans dan Monitoring. Dalam:  Puslitbang Peternakan. Prosiding Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 12 juli 2006. Hal 31-49

OIE (The World Organisation for Animal Health). 2009. Haemorragic Septicaemia. http://www.oie.int/animal-health-in-the-world/technical-disease-cards/.  Di akses [15 Mei 2012].

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar di...

Kasus Displasia Abomasum pada Sapi

Displasia Abomasum (DA) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum dari lokasi yang sebenarnya.  Umumnya kasus DA banyak terjadi pada sapi perah ( Friesian Holstein ) yang memiliki produksi susu yang tinggi. Kasus ini biasanya terjadi pada akhir masa kebuntingan berkisar 2 minggu sebelum kelahiran (2 minggu prepartus ) dan pada awal masa laktasi yaitu sekitar 8 minggu setelah kelahiran (8 minggu post partus). Selain sapi, kasus DA juga dapat terjadi pada jenis ruminansia lainya, walaupun kasus pada rumininasia lainnya jarang terjadi.

Stud tail ( Feline Tail Gland Hyperplasia)

Pernah punya kucing yang ekornya selalu kotor berwarna hitam , kadang berkerak, bahkan sampai bisa menyebabkan kebotakan? Klo teman-teman punya kasus serupa ini biasa disebut Stud tail   atau istilah kerenya Feline Tail Gland Hyperplasia. Pengertian Kasus Stud Tail merupakan suatu kondisi ketika ekor kucing jantan memiliki kelenjar Apokrin ( keringat )   dan kelenjar Sebaceus ( minyak) yang aktif pada bagian atas ekor. Kelenjar ini menghasilkan hipersekresi lilin yang membuat lesi kucing menjadi berkerak dan membuat kerontokan pada rambut (bulu). Jika kondisi ini sudah parah, maka bisa membuat ekor kucing menjadi rentan terhadap infeksi bakteri dan menyebabkan bau tak sedap. Kasus ini umumnya terjadi pada kucing jantan walaupun demikian tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada kucing betina. Selain di bagian ekor kondisi ini juga bisa terjadi dibagian bawah dagu kucing. Penyebab Pada kasus ini ternjadi hiperplasia pada kelenjar sebaceus dan apokrin sehingga terjadi...