MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
PUTUSAN
Nomor 137/PUU -VIII2009
PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18
TAHUN 2009 TENTANG
PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN,
TERHADAP UNDANG-
UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
DIPUTUS
JUIMAT, 27 AGUSTUS 2010
PUTUSAN
Nomor 137/PUU-VII/2009
DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Pendapat
Mahkamah
[3.15]
Menimbang bahwa Pasal 44 ayat (3) UU I8/2009 yang dimohonkan pengujian 0Ieh
para Pemohon menyatakan, "Pemerintah tidak memberikan kompensasi Kepada
setiap orang atas tindakan depopulasi tarhadap hewannya yang positif tanangkit
penyakit hewan sabagaimana dimaksud pada ayat ( 7 )".
Menimbang bahwa karane Pasal 44
ayat (3) tersebut menunjuk kapada ayat (1) dari pasal tarsebut, maka ayat (1)
yang manyatakan, "pemberantasan penyakit hawan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 meliputi` panutupan daarah, pambatasan Lalulintas hewan, pangabatan
hawan, pangisolasian hawan sakit atau terduga sakit penanganan hawan sakif,
pemusnahan bangkai, pengeradikasian panyakit hawan, dan pandepopulasian hewan’”
perlu dicantumkan di sini;
Bahwa depopuIasi tarhadap hewan
yang positif terjangkit penyakft hewan,merupakan tindakan Pemerintah untuk
mencegah penularan pcnyakit hewan terhadap hawan yang masih sehat, bahkan untuk
menghindari penularan kepada manusia. Tindakan Pemerintah separti itu adalah
dalam rangka melindungi hawan, masyarakat Indonesia, serta kasahatan masyarakat
Indonésia. Salain itu hewan yang sudah positif tarjangkit panyakit hewan, tanpa depopulasi
tetap tidak akan mambantu pamiliknya, oIeh karena pada akhirnya hewan tersebut
akan mati dan mernbahayakan hawan Iain dan 0rang—0rang di sekitarnya. Adapun
tarhadap pemilik hewan yang didepopulasi, padahal nawan tersabut masih sehat,
tatap diberikan kompensasi sebagaimana yang ditentukan daIam PasaI 44 ayat (4)
UU 18/2009, yang menyatakan, "Pemarintah membarikan kompansasi bagi hawan
sehat yang bardasarkan pedoman pamberantasan wabah penyakit hewan harus
didapopulasi”
Bardasarkan
partimbangan di atas Mahkamah menilai Pasal 44 ayat (3) UU
18/2009
tidak bertentangan dangan UUD1945;
[3.16] Menimbang
bahwa Pasal 59 ayat (2) UU 18/2009 menyatakan, "Produk hewan segar yang
dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sabagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada
suatu negara atau zona dalam suatu
negara yang telah memenuhi parsyaratan dan tata cara pamasukan produk
hawan", sementara yang dimohonkan pengujian olah para Pemohon adalah
frasa, "unit usaha produk hawan pada suatu nagara atau zona”
Bahwa dalam negara kesejahtaraan,
Pemarintah harus ikut aktif dalam lalu lintas perekonomian, tarmasuk mambentuk
ragulasi yang melindungi serta mendorong ka arah kasejahteraan masyarakat.
Dalam rangka malindungi masyarakat terhadap kemungkinan timbulnya karugian di
bidang ekonomi, pemerintah harus mambuat regulasi yang manjamin ka arah tersebut,
Bahwa impor produk hewan segar yang barasal dari unit usana produk hewan pada suatu negara atau zona, merupakan
tindakan yang tidak hati—hati bahkan barbahaya, sebab unit usaha dari suatu
zona tidak membarikan kaamanan yang maksimal, karana dapat saja suatu zona sudah
dinyatakan babas penyakit hewan, akan tatapi karena negara tampat Zona itu berada
masih mamiliki zona yang belum bebas panyakit hewan kemudian mengakibatkan
tartular panyakit hawan dari zona lainnya. Sabagai contoh, panyakit mulut dan
kuku (PMK), manurut ahli Dr. drh. Sofyan Sudardjat MS., penyakit tarsebut
ditularkan melalui udara yang menurut penelitian Smith, John, dan Malfin dapat
ditularkan sajauh 100 kilometer, Selain itu, menurut ahli, hewan yang tarserang
PMK dapat kelihatan tidak sakit tetapi dapat menularkan virus kepada yang Iain.
Pendapat ahli Dr. drh. Sofyan Sudardjat, MS. sejalan dangan pendapat ahli drh.
Bachtiar Murad yang menarangkan bahwa pada abad kae2O di Eropa muncul new
variant dan Crautztaldt-Jakob Desease, suatu panyakit yang belum ada obatnya,
disebabkan olah prion (semacam sel protein liar) yang tidak dapat mati pada
suhu 200° C, dan hanya mati pada suhu 1.000° C.
Penyakit ini dapat ditularkan
melalui daging, tulang, dan produk—produk seperti ’meat and bone meal’ atau
tepung daging dan tulang yang masih kita impor dari Iuar negeri untuk makanan
ternak. Oleh karena itu, perlu penerapan keamanan maksimal (maximum security)
apabila ingin melindungi bangsa, manusia, dan hewan di Indonesia. Hal yang
diterangkan kedua ahli tersebut sejalan pula dengan pendapat ahli Dr. lr.
Roohadi Tawaf, MS. yang mengemukakan bahwa karena PMK ditularkan melaiui komoditi
hewan secara airbome diseases, maka risiko terjangkit PMK sangat tinggi apabila mengimpor hewan atau
produk hewan dari negara yang tertular. Bahwa Pemerintah bisa lebih bertindak
hati—hati sesuai dengan salah satu asas dari asas—asas umum pemerintahan yang
baik, yakni asas kekhawatiran, manakala ketentuan yang mengatur tentang impor
produk hewan segar itu tidak didasarkan pada kriteria "suatu zona dalam
suatu negara", melainkan pada suatu negara yang telah memenuhi
persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan;
Bahwa berdasarkan pertimbangan
di atas, frasa "atau zona dalam suatu negara" dinilai
benentangan dengan UUD 1945; Bahwa dengan demikian, Pasai 59 ayat (2) UU
18/2009 menjadi, "Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayaf (1) huruf a
harus berasal dan unit usaha produk hewan pada suatu negara yang telah memenuhi
persyarafan dan tata cara pemasukan produk hewan’
[3.17]
Menimbang bahwa Pasai 59 ayat (4) UU 18/2009 yang dimohonkan pengujian oleh
para Pemohon menentukan, "Persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan
dan luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2}, dan ayat (3) mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional yang berbasis analisis resiko
di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta mengutamakann
kepentingan nasional' yang menurut para
Pemohon menunjukkan ketidakpastian hukum serta mengabaikan prinsip kedaulatan
rakyat. Bahwa Mahkamah menilai frasa "atas kaidah intemasional" adalah
benar tidak memberikan kepastian hukum oleh karena kaidah internasional mana
yang dimaksud dan apakah kaidah intarnasional tarsebut telah disetujui atau
belum oleh Dewan Parwakilan Rakyat;
Bahwa kepastian hukum yang adil
tertara di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sedangkan ketentuan mengenai persetujuan
DPR atas perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang Iuas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang tarkait dangan beban keuangan negara dan atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persatujuan DPR, tertara
pada Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. Salain itu, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menagaskan,
"Kadaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang
Dasar". Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, frasa "atau kaidah
intarnasionaI" salain bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil
dan asas kedaulatan rakyat, juga tidak sejalan dengan primat hukum nasional yang
dianut dalam UUD 1945, sebagaimana adanya keharusan persatujuan DPR, yang biasa
disebut ratitikasi atas suatu perjanjian internasional yang ditandatangani oleh
Pemerintah sebelum parjanjian internasional tersabut mangikat warga negara. Dangan
pertimbangan tersabut di atas, maka frasa "atas kaidah internasionaI"
adalah bartantangan dengan UUD 1945 sapanjang balum dituangkan di dalam perjanjian
internasional dan sudah diratifikasi;
Bahwa dengan demikian, Pasal 59
ayat (4) UU 18/2009 manjadi, "(4) Parsyaratan dan tata cara pemasukan
produk hewan dari luar negari ka dalam wilayah Negara Kasatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3) mangacu pada ketentuan yang
barbasis analisis risiko di bidang kesahatan hewan dan kesahatan masyarakat vaterinar
serta mengutamakan kepentingan nasional".
[3.18]
Menimbang bahwa Pasal 68 ayat (4) UU 18/2009 yang dimohonkan
pengujian oleh para Pemohon menyatakan, “Dalam ikut berperan pada mewujudkan
kesehatan hewan dunia melalui Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
mentri dapat melimpahkan kewenangannya kapada otoritas veteriner, yang menurut
para Pemohon kata, "dapat"
berakibat pada pelanggaran hak kewenangan profesi dokter hewan diturunkan
menjadi kewanangan politik;
Bahwa prinsip kehati-hatian
dalam impor produk hewan segar yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang dikemukakan dalam mempertimbangkan
pengujian Pasal 59 ayat (2) UU 18/2009 di atas juga menjadi pertimbangan dalam
pengujian Pasal a quo. Peran serta
mewujudkan kesehatan hewan dunia melalui Siskeswanas selain memperhatikan prinsip
kehati-hatian, yang tak kalah pentingnya adalah prinsip ekonomi yang telah
diterima secara universal yakni penempatan manusia pada posisi yang sesuai
dengan otoritasnya, ’the right man on the right place’ yang bertujuan antara
lain untuk mencapai keberhasilgunaan dan keberdayagunaan, Spesialisasi,
tipesasi, atau taylorisasi yang terkandung dalam prinsip the right manon the
right place yang diperkenalkan oleh F.W. Taylor sebetulnya lebih dahulu diperkenalkan
oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau bersabda, "Apabila suatu urusan
diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya".
Berdasarkan asas kehati-hatian
dan demi menghindari risiko kerugian, prinsip penempatan manusia pada posisi
yang sesuai dengan otoritasnya untuk mencapai Efisiensi dan efektivitas yang
semuanya bertujuan untuk melindungi masyarakat indonesia bahkan dunia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, Pemerintah
dalam hal ini Menteri melimpahkan kewenangan Siskeswanas kepada otoritas
Veteriner. Dengan demikian kata "dapat" yang memberikan diskresi
kepada Menteri untuk melimpahkan kewenangannya kepada pejabat yang tidak memiliki
otoritas veteriner adalah kontraproduktif dengan tujuan melindungi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga bertentangan dengan konslitusi;
Bahwa dengan demikian Pasal 68
ayat (4) UU 18/2009 menjadi, "Dalam ikut berperan serta mewujudkan
kesehatan hewan dunia melalui Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Menteri melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian fakta dan
hukum di atas Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
[4.2]
Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) mengajukan
permohonan
[4.3] Permohonan beralasan
sebagiarn.
Berdasarkan Undang—Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tarnbahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4316) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5075);
5.
AMAR PUTUSAN
Mengadili
·
Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk
sebagian;
·
Menyatakan:
— frasa, "Unit usaha produk
hewan pada suatu negara atau Zona",dalam
Pasal 59 ayat (2);
— frasa, 'atau kaidah
lnternasional" dalam Pasal 59 ayat (4);
— frasa kata "dapat"
dalam Pasal 58 ayat (4)
Undang—Undang Nomor 18 Tahuri
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Repubiik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 84, Tambanan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015)
bertentangan dengan Undang—Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
• Menyatakan:
- frasa, "Unit usaha
produk hewan pada suatu negara atau~zona” dalam
Pasal 59 ayat (2);
— frasa, 'atau kaidah
internasional"dalam Pasal 59 ayat (4),
~ kata "dapat" daiam
Pasal 58 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Lembaran Negara Repubiik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 84,
Dowdload link Pembahasan Otoritas Veteriner
Dowdload link UU no 18 tahun 2009
Dowdload link Pembahasan Otoritas Veteriner
Dowdload link UU no 18 tahun 2009
Thanks a lot ya de,, ^^
BalasHapus-NIsa-