Oleh : Alimansyah Putra S.K.H
Karnivora adalah hewan yang makanannya kebanyakan adalah daging, baik yang dimakan hidup-hidup atau berasal dari daging hewan yang sudah mati. Kata karnivora berasal dari bahasa Latin carne yang berarti daging dan vorare yang berarti "memakan"). Bangsa carnivora merupakan bagian dari kelas mamalia yang memiliki gigi yang besar dan tajam. Peranan bangsa carnivora yang memiliki sifat karnivora (sebagai pemakan daging) cukup besar dalam dunia ekologi. Primack & Corlett (2005) menyatakan bahwa karnivora merupakan elemen yang penting pada komunitas satwaliar. Hilangnya jenis-jenis satwa karnivora akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi hewan-hewan herbivora ataupun sumber pakan satwa karnivora.
Pada tingkatan rantai makanan karnivora biasanya memiliki kedudukan yang teratas, ada yang bertindak sebagai konsumen sekunder maupun bertindak sebagai konsumen tersier. Kondisi ini juga yang menyebabkan hewan karnivora sangatlah tergantung pada rantai makanan pada tingkatan bawah. Bila terjadi kerusakan pada tingkatan bawah rantai makanan maka potensi untuk mengganggu keutuhan dari keberadaan hewan karnivora sangat berpotensi.
Karnivora menempati hampir setiap jenis habitat terestrial, dan juga habitat air. Dari tropis hingga ke kutub. Mereka tinggal di hutan, gurun, pegunungan, padang rumput, scrublands, tundra, dan di atas es terbuka. Spesies perairan dan semi-akuatik hidup di sungai air tawar, danau, dan rawa-rawa, di daerah pesisir laut, dan di laut terbuka (Strains 1984). Keanekaragaman dari ordo karnivora sangatlah beragam, ordo ini terdiri dari dua subordo, yakni Feniformia dan Caniformia. Subordo feniformia disebut sebagai karnivora “seperi kucing”, sedangkan caniformia disebut sebagai karnivora “seperti anjing”. Feniformia terdiri atas 1 Infraordo, 2 Superfamili, 11 Famili, serta lebih kurang 56 genera dan 123 spesies. Sementara itu Caniformia terdiri atas 3 Superfamili, 1 Infraordo, 12 Famili, serta lebih kurang 67 genera dan 164 spesies. Menurut Strains (1984) mamalia karnivora terdiri dari lebih dari 270 spesies dari 13 famili.
Karnivora menempati hampir setiap jenis habitat terestrial, dan juga habitat air. Dari tropis hingga ke kutub. Mereka tinggal di hutan, gurun, pegunungan, padang rumput, scrublands, tundra, dan di atas es terbuka. Spesies perairan dan semi-akuatik hidup di sungai air tawar, danau, dan rawa-rawa, di daerah pesisir laut, dan di laut terbuka (Strains 1984). Keanekaragaman dari ordo karnivora sangatlah beragam, ordo ini terdiri dari dua subordo, yakni Feniformia dan Caniformia. Subordo feniformia disebut sebagai karnivora “seperi kucing”, sedangkan caniformia disebut sebagai karnivora “seperti anjing”. Feniformia terdiri atas 1 Infraordo, 2 Superfamili, 11 Famili, serta lebih kurang 56 genera dan 123 spesies. Sementara itu Caniformia terdiri atas 3 Superfamili, 1 Infraordo, 12 Famili, serta lebih kurang 67 genera dan 164 spesies. Menurut Strains (1984) mamalia karnivora terdiri dari lebih dari 270 spesies dari 13 famili.
Hewan karnivora merupakan hewan yang ditakuti, dianiaya, dan dieksploitasi oleh manusia selama berabad-abad. Saat ini ada 122 spesies mamalia karnivora yang termasuk dalam Daftar Merah Spesies Terancam IUCN. Dari jumlah tersebut, 11 dikategorikan dekat terancam, 9 berisiko rendah terancam, 39 rentan, 33 terancam, 6 yang kritis dan terancam punah, dan 5 dari spesies tersebut, satu dari mereka yaitu ferret berkaki hitam (Mustela nigripes), punah di alam liar.
Variasi genetik dari suatu spesies dapat berkurang jika jumlah individunya dalam populasi berkurang. Ketika suatu spesies mengalami kepunahan maka informasi genetik yang unik yang terdapat pada material DNA-nya maupun kombinasi khusus sifat-sifat unik yang dimilikinya akan hilang selamanya. Ketika suatu spesies punah maka populasinya tidak akan mampu dipulihkan.
Dalam beberapa studi, kata punah memiliki banyak arti tergantung pada situasinya, namun secara umum punah diartikan sebagai suatu kondisi dimana tidak ada satupun individu dari suatu spesies yang masih hidup didunia. Ada berbagai macam penyebab dari terjadinya kepunahan, antara lain akibat aktivitas manusia, bencana alam maupun seleksi yang dilakukan oleh alam. Sebagian besar kepunahan diakibatkan oleh adanya aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya kerusakan habitat, fragmentasi habitat, degradasi habitat (termasuk polusi), perubahan iklim global, pemanfaatan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia, invasi spesies-spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit serta sinergitas antara faktor-faktor tersebut (Indrawan et al. 2007).
Pada hewan karnivora ancaman utama yang dapat mengganggu keanekaraman genetik dan dapat menyebabkan kepunahan ialah hilangnya habitat dan degradasi hutan serta kegiatan berburu yang dilakukan untuk kesenangan dan keuntungan. Perdagangan spesies langka dari satwa liar masih terus dilakukan dipasar gelap, meskipun perdagangan spesies ini secara ketat diatur oleh CITES dan oleh hukum nasional serta hukum internasional.
Kerusakan habitat merupakan penyebab utama hilangnya keanekaragaman genetik dari suatu spesies. Kerusakan habitat merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari seiring meningkatnya populasi dan kegiatan manusia. Hilangnya habitat juga merupakan akibat dari polusi dan fragmentasi habitat. Pada beberapa studi menyebutkan bahwa urbanisasi pada masyarakat yang menyebabkan berkembangnya daerah perkotaan juga menyebabkan habitat dari hewan karnivora menjadi hilang serta intraksi antara hewan karnivora dan manusia semakin sering terjadi. Interaksi hewan karnivora dengan daerah perkotaan ini menimbulkan beberapa reaksi. Ada sebagian hewan yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan perkotaan, namun sebagian ada yang tidak mampu bertahan dan mengalami penyusutan populasi (Ordenana 2010).
Pada hewan karnivora, hilangnya habitat dapat berarti berkurangnya daerah kekuasaan untuk mencari makan, selain itu dengan berkurangnya habitat dan mendekatnya populasi manusia dengan habitat karnivora membuat kontak antara hewan karnivora dan populasi manusia semakin sering terjadi. Kontak yang sering terjadi menyebabkan terjadinya pengurangan jumlah populasi karnivora.
Untuk daerah indonesia, salah satu masalah besar yang menyebabkan berkurangnya habitat ialah adanya kebakaran hutan. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya konversi lahan hutan menjadi daerah pertanian, sehingga untuk lebih mudahnya maka pembukaan hutan dilakukan dengan pembakaran. Pembakaran hutan yang meluas dapat menyebabkan kerusakan habitat dari suatu spesies menjadi semakin parah.
Masalah perubahan iklim juga berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah individu dari suatu spesies. Perubahan iklim ini disebabkan oleh adanya emisi gas rumah kaca. Menurut para ahli klimatologi emisis gas rumah kaca berupa karbon dioksida (CO2), metana (CH4), Nitrogen dioksida (N2O), perfluaorokarbon (PFCS) Hidrofluorokarbon (HFCS) dan sulfurheksafluorida (SF6) bertanggung jawab dalam peningkatan suhu bumi sebesar 1,4-5,8 oC pada tahun 2100 (IPCC 2001). Peningkatan itu akan lebih besar lagi bila terjadi peningkatan gas rumah kaca seperti yang diperhitungkan selama ini. Dengan adanya peningkatan ini maka kondisi iklim yang ada dibumi saat ini akan mengalami perubahan drastis, daerah-daaerah tertentu akan mulai mengalami kondisi iklim yang ekstrim seperti angin topan, banjir, dan kekeringan yang berkepanjangan pada wilayah-wilayah yang terkait dengan pemanasn global, selain itu akan terjadi penurunanan dan peningkatan curah hujan tergantung dengan kondisi wilayah. Perubahan iklim ini dapat mempengaruhi kondisi komposisi spesies, siklus reproduksi serta beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya kepunahannya lainya.
Ancaman akan keanegaragaman genetik dari spesies karnivora juga dipengaruhi oleh adanya eksploitasi yang berlebihan. Hewan karnivora sebagian besar merupakan hewan yang merupakan hewan eksotik yang memiliki harga jual yang cukup tinggi. Harimau misalnya, jumlah harimau yang sedikit di alam ditambah dengan adanya perburuan liar, menyebabkan jumlah harimau yang bertahan di alam sangatlah sedikit. Selain itu adanya eskploitasi hewan liar yang menjadi makanan bagi hewan karnivora secara berlebihan juga akan mempengaruhi jumlah species dari suatu populasi karnivora.
Karnivora adalah predator penting dalam ekosistem, bertindak sebagai kontrol "top-down" pada populasi mangsanya. Mereka bertindak sebagai spesies kunci, dan kepunahan mereka memiliki konsekuensi drastis bagi ekosistem. Misalnya, serigala baru-baru ini diperkenalkan kembali ke Yellowstone National Park setelah extirpated selama hampir 70 tahun, dan predasi mereka pada rusa telah memungkinkan tanaman berkayu untuk pulih dari overbrowsing (Ripple dan Beschta 2003 ).
Program penangkaran mungkin kesempatan terakhir untuk kelangsungan hidup beberapa spesies, seperti panda raksasa (Ailuropoda melanoleuca ). Dalam beberapa kasus, reintroduksi spesies ke daerah dimana mereka sebelumnya berada telah berhasil, seperti yang dilakukan pada serigala Yellowstone. Untuk mencegah hewan karnivora dari ancaman kepunahan dalam jangka panjang, petak besar habitat dan populasi spesies mangsa yang sehat harus dipertahankan di semua bagian dunia, dan manusia harus belajar untuk hidup berdampingan damai dengan hewan (IUCN 2010, Schaller 1996 ).
Ancaman akan keanegaragaman genetik dari spesies karnivora juga dipengaruhi oleh adanya eksploitasi yang berlebihan. Hewan karnivora sebagian besar merupakan hewan yang merupakan hewan eksotik yang memiliki harga jual yang cukup tinggi. Harimau misalnya, jumlah harimau yang sedikit di alam ditambah dengan adanya perburuan liar, menyebabkan jumlah harimau yang bertahan di alam sangatlah sedikit. Selain itu adanya eskploitasi hewan liar yang menjadi makanan bagi hewan karnivora secara berlebihan juga akan mempengaruhi jumlah species dari suatu populasi karnivora.
Karnivora adalah predator penting dalam ekosistem, bertindak sebagai kontrol "top-down" pada populasi mangsanya. Mereka bertindak sebagai spesies kunci, dan kepunahan mereka memiliki konsekuensi drastis bagi ekosistem. Misalnya, serigala baru-baru ini diperkenalkan kembali ke Yellowstone National Park setelah extirpated selama hampir 70 tahun, dan predasi mereka pada rusa telah memungkinkan tanaman berkayu untuk pulih dari overbrowsing (Ripple dan Beschta 2003 ).
Program penangkaran mungkin kesempatan terakhir untuk kelangsungan hidup beberapa spesies, seperti panda raksasa (Ailuropoda melanoleuca ). Dalam beberapa kasus, reintroduksi spesies ke daerah dimana mereka sebelumnya berada telah berhasil, seperti yang dilakukan pada serigala Yellowstone. Untuk mencegah hewan karnivora dari ancaman kepunahan dalam jangka panjang, petak besar habitat dan populasi spesies mangsa yang sehat harus dipertahankan di semua bagian dunia, dan manusia harus belajar untuk hidup berdampingan damai dengan hewan (IUCN 2010, Schaller 1996 ).
Sumber :
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. www.ipcc-data.org. diakses pada [19 November 2011]
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2010. The mamalian carnivora red list. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/search. Diakses [19 November 2011]
Indrawan M, Primack RB, dan Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Ordenana M A, Kevin R. Crooks, Erin E, Boydison, et al. 2010. Effects of urbanization on carnivore species distribution and richness. Journal of Mammalogy, 91(6):1322–1331
Primack R, Corlett R. 2005. Tropical Rain Forests: an Ecological and Biogeographical Comparison. Oxford: Blackwell Science. 319 hal.
Ripple W R, Beschta. 2003. Wolf reintroduction, predation risk, and cottonwood recovery in Yellowstone National Park. Forest Ecology and Management, 184: 299-311
Schaller G. 1996. Introduction: Carnivores and conservation biology. Pp. 1-10 in J. L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior, Ecology, and Evolution, vol. 2. Ithaca: Cornell University Press.
Stains H. 1984. Carnivores. Pp. 491-521 in S. . Anderson, J. K. Jones Jr., eds. Orders and Families of Recent Mammals of the World. New York: John Wiley and Sons.
Yang pada baca.. dikoment5ari ya.. terim kasih
BalasHapus